A.
Pengertian
Asuransi Syariah
Asuransi adalah satu
cara untuk memelihara manusia dalam menghadapi resiko (ancaman) bahaya yang
beragam yang akan terjadi dalam perjalanan kegiatan hidupnya termasuk aktifitas
ekonominya. Dalam bahasa Arab, Asuransi disebut at-ta’mim yang berasal dari kata amana yang memiliki arti memberi perlindungan, ketenangan, rasa
aman dan bebas dari rasa takut. Asuransi adalah suatu persetujuan dimana pihak
yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin, untuk menerima sejumlah uang
premi sebagai pengganti kerugian, yang kemungkinan di derita oleh yang dijamin,
karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas[1].
Menurut Dewan Syariah
Nasional MUI, dalam fatwa DSN No. 21/DSN – MUI/IX/2001, Asuransi Syariah yaitu
usaha saling melindungi dan tolong – menolong di antara sejumlah orang/pihak
melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk resiko tertentu
melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah”.[2] Akad
yang sesuai dengan syariah yang dimaksud adalah yang tidak mengandung penipuan (gharar) yaitu ketidak-jelasan dan
ketidak transparan, perjudian (Maysir),
bunga (riba), penganiayaan (zhulm), suap (risywah), barang haram dan maksiat. Di asuransi syariah itu
sendiri akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri dari: akad
Mudharabah (bagi hasil), dan akad tarbarru’ (hibah).
Menurut pendapat Hasan Ali menyatakan bahwa: “Akad mudharabah ialah bentuk akad kerjasama antara dua orang atau
lebih yang mengharuskan pemilik modal (dalam hal ini nasabah asuransi)
menyerahkan sejumlah dana (premi)
kepada perusahaan asuransi (mudharib)
untuk dikelola.[3]
Dana yang terkumpul oleh perusahaan asuransi diinvestasikan agar memperoleh
keuntungan (profit) yang nantinya
akan dibagi antara perusahaan dan nasabah asuransi dengan persentase nisbah
yang telah disepakati sejak awal perjanjian. Sedangkan apabila usaha tersebut
merugi maka kerugian tersebut akan di tanggung sepenuhnya oleh pihak shahibul mal sepanjang hal itu
disebabkan oleh resiko bisnis dan bukan karena kelelaian mudharib.
Akad Tabarru’ ialah
semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan kebaikan dan tolong menolong,
bukan semata untuk tujuan komersial.[4]
Akad Tabarru’ merupakan bentuk transakasi atau perjanjian kontrak yang bersifat
nirlaba (not for profit transaction)
sehingga tidak boleh digunakan untuk tujuan komersial atau bisnis tetapi
semat-mata untuk tujuan tolong-menolong dalam rangka kebaikan (sosial). Pihak
yang meniatkan Tabarru’ tidak boleh
mensyaratkan imbalan apapun. Menurut Yusuf Qardhawi, dana Tabarru’ ini haram untuk ditarik kembali karena dapat disamakan
dengan hibah.[5]
Dalam asuransi syariah
rukun-rukun akadnya adalah meliputi:
1.
Agid,
yaitu pihak-pihak yang mengadakan agid
(perusahaan dengan peserta)
2.
Ma’kud’alaihi,
yaitu sesuatu yang di akadkan atasnya (barang dan bayaran).
Hal-hal yang disebutkan
dalam akad, antara lain:
1. Hak
dan kewajiban peserta dan perusahaan
2. Cara
dan waktu pembayaran premi
3. Jenis
akad mudharabah dan/atau tabarru’ serta
syarat-syarat yang disepakati sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Selain itu asuransi syariah adalah sebuah sistem dimana para
peserta mendonasikan sebagian atau seluruh kontribusi/premi yang mereka bayar dan
digunakan untuk membayar klaim atas musibah yang dialami oleh peserta yang
lain. Peranan perusahaan disini hanya sebatas pengelola operasional perusahaan
asuransi serta investasi dari dana-dana/kontribusi yang diterima/di limpahkan
kepada perusahaan.
Untuk mendapatkan
asuransi, setiap orang dikenakan premi yaitu kewajiban peserta asuransi untuk
memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan
dalam akad. Setelah terdaftar sebagai peserta (anggota) asuransi, maka
seseorang dengan sendirinya akan memiliki klaim, yaitu hak peserta asuransi
yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam
akad. Jika seseorang menjadi peserta asuransi, dalam istilah syariah disebut
dengan muamman (tertanggung)
sedangkan perusahaan asuransi disebut dengan muammin (penanggung) selayaknya memulai sebuah asuransi, nasabah
mengadakan kontrak dengan perusahaan asuransi.
Tercapainya kesepakatan
(ijab kabul) diantara masing-masing
pihak dalam penyusunan kontrak syari’ah menimbulkan akibat hukum berupa hak dan
kewajiban dimana para pihak wajib melaksanakan hak dan kewajiban yang telah
mereka sepakati. Adapun menurut
pendapat Burhanuddin menyatakan bahwa:
Hak ialah
kekuasaan atas sesuatu atau apa yang menjadi kewajiban seorang kepada yang
lainnya, kekuasaan atas sesuatu merupakan pengertian apabila ditinjau dari
pemilik hak (Shahib al haqq),
sedangkan apa yang menjadi kewajiban seseorang kepada yang lainnya merupakan
bentuk pembebanan hukum yang berlaku apabila ditinjau dari sudut pandang orang
yang menjalankan kewajiban (multazim).[7]
Sedangkan kewajiban ialah keharusan yang ditetapkan oleh syari’at atas
seseorang dapat menentukan hak dalam akad”.[8]
Hak dan kewajiban dalam kontrak merupakan dua sisi yang bersifat saling
timbal balik, hak bagi salah satu pihak menjadi kewajiban pihak lain. Begitu
juga sebaliknya, kewajiban bagi salah satu pihak merupakan hak pihak lain. Maka
setiap peserta yang telah terdaftar sebagai peserta asuransi wajib membayar
sejumlah uang (premi) secara teratur kepada perusahaan, besar premi yang
dibayarkan tergantung kepada keuangan peserta, akan tetapi, perusahaan
menetapkan jumlah minimum premi yang akan dibayarkan oleh peserta.
Proses hubungan peserta
dan perusahaan dalam mekanisme pertanggungan pada asuransi syariah adalah sharing of risk atau “saling menanggung
resiko”. Apabila terjadi musibah, maka semua peserta asuransi syariah saling
menanggung. Dengan demikian, tidak terjadi transfer resiko (transfer of risk) atau “memindahkan
resiko” dari peserta ke perusahaan seperti pada asuransi konvensional.
Asuransi syariah
disebut juga dengan asuransi ta’awan
yang artinya tolong-menolong atau saling membantu. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa asuransi ta’awan
prinsip dasarnya adalah dasar syariat yang saling toleran terhadap sesama
manusia untuk menjalin kebersamaan dalam meringankan bencana yang dialami
peserta.
Prinsip ini sesuai
dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 2:
وتعاونوا على البر والتقوى ولاتعاونوا على الإثم والعدوان
واتقوا الله إن الله شد يد العقاب
Artinya: “Dan tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya” (QS. Al-Maidah:2)[9].
Para ahli hukum Islam
kontemporer menyadari sepenuhnya, bahwa status hukum asuransi syariah belum
pernah ditetapkan oleh para pemikir hukum Islam dahulu (fuqaha). Pemikiran
asuransi syariah seperti berlaku sekarang ini, merupakan hasil pergumulan
antara pemahaman hukum syariat dengan realitas yang terjadi.
Namun apabila di cermati melalui kajian secara mendalam, maka ditemukan
bahwa pada asuransi terdapat maslahat sehingga para ahli hukum Islam
(kontemporer) mengadopsi manajemen asuransi berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Dalam kontek ini asuransi dibolehkan walaupun ada perbedaan pendapat timbul
dalam sebagaian cara merealisasikan prinsip tersebut.
Beberapa pendapat para ulama mengenai hukum asuransi ditinjau dari fiqh Islam
yang paling mengemuka, perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:
1. Pendapat
pertama: Mengharamkan
“Asuransi itu haram
dalam segala macam bentuknya, termasuk asuransi jiwa”[10].
Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti
Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad bakhil al-muth’i (mufti Mesir).
Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
a.
Asuransi sama dengan judi;
b.
Asuransi mengandung unsur-unsur
tidak pasti;
c.
Asuransi mengandung unsur–unsur riba/renten;
d.
Asuransi mengandung unsur-unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila
tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah
dibayar atau dikurangi.
e.
Premi-premi yang sudah dibayar
akan diputus dalam praktik-praktik riba.
f.
Asuransi termasuk jual beli atau
tukar menukar mata uang tidak tunai
g.
Hidup dan mati manusia dijadikan
objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.[11]
Dari alasan-alasan yang
dikemukakan oleh pendapat yang pertama ini yang mengharamkan asuransi, penulis
setuju atas dasar asuransi seperti ini bertentangan dengan ajaran Islam dimana
praktiknya hanya menguntungkan satu belah pihak saja atau bersifat untung-untungan
yang kita tahu tidak dibenarkan dalam Islam.
2. Pendapat
kedua : Membolehkan
Pendapat kedua ini
dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar hukum Islam
pada Fakultas Syariah Universitas Syiria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar hukum
Islam pada Universitas Kairo Mesir, dan Abd. Rahman Isa pengarang kitab al-Muamalah al-Haditsah wa Ahkamuha.
Mereka beralasan:
a.
tidak ada Nash (Al-Quran dan
Sunnah) yang melarang asuransi
b.
ada kesepakatan dan kerelaan
kedua belah pihak
c.
saling menguntungkan kedua belah
pihak
d.
Asuransi dapat menanggulangi
kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan untuk
proyek-proyek yang produktif dan pembangunan
e.
Asuransi termasuk akad,
madharabah (bagi hasil)
f.
Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta’awuniyah)
Untuk pendapat kedua
ini penulis cenderung lebih membenarkan hal demikian, karena apabila dicermati lebih lanjut asuransi seperti ini
tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama, dimana tidak merugikan satu sama
lain. Hal ini dapat membangun perekonomian ummat, seperti yang dijalankan di
asuransi syari’ah pada umumnya.
3. Pendapatan
ketiga : Asuransi Sosial Boleh dan Komersial Haram
Pendapat ketiga ini
dianut antara lain oleh Muhammad Abzu Zahra (guru besar hukum Islam pada
Universitas Kairo). Alasan kelompok-kelompok ketiga ini sama dengan kelompok
pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (Haram) dan sama pula dengan
alas an kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh)”[13]
Walaupun sebagian
kalangan Islam beranggapan bahwa asuransi sama dengan menentang Qadha dan Qadar
atau bertentangan dengan takdir. Padahal sesungguhnya tidak demikian, karena
pada dasarnya Islam mengakui bahwa kecelakaan, kemalangan, dan kematian
merupakan takdir Allah yang tidak dapat di tolak. Hanya saja sebagai manusia
diperintahkan membuat perencanaan untuk menghadapi masa depan. Seperti firman
Allah dalam Surat Al-Hasyr, ayat 18 :
يأيها الذين ءامنوا اتقوا الله ولتنظرنفس ماقد مت لغد
واتقوا الله إن الله خبير بما تعملون
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan (QS. AL-Hasyr:18).[14]
Jelas
sekali dalam ayat ini kita diperintahkan untuk merencanakan apa yang akan kita
perbuat untuk masa depan. Dalam hal ini manusia ditugaskan hanya mengatur
bagaimana cara mengelola kehidupannya agar mendapat kebahagiaan dunia dan
akhirat. Adapun salah satu caranya adalah dengan menyiapkan bekal untuk
kepentingan dimasa akan datang agar segala sesuatu yang benilai negatif, baik
dalam bentuk musibah kecelakaan, kebakaran ataupun kematian. Dapat di
minimalisir kerugiannya, karena kemampuan manusia hanya sebatas memprediksi dan
merencanakan sesuatu yang belum terjadi serta memproteksi segala sesuatu yang
di rasa akan memberikan kerugian dimasa akan datang, sedangkan Allah menentukannya.
Hal
serupa terhadap konsep asuransi juga telah dicontohkan oleh Nabi Yusuf secara
jelas dalam menakwilkan mimpi Raja Mesir tujuh ekor sapi betina yang gemuk
dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus. Yang diartikan oleh Nabi Yusuf
bahwa selama tujuh tahun Negeri Mesir akan mengalami panen yang melimpah dan
kemudian diikuti masa paceklik selama tujuh tahun berikutnya.
Untuk
berjaga-jaga terhadap bencana kelaparan tersebut Raja Mesir mengikuti saran
Nabi Yusuf dengan menyisihkan sebagian dari hasil panen pada tujuh tahun
pertama sebagai cadangan bahan makanan pada masa paceklik. Dengan demikian pada
masa tujuh tahun paceklik rakyat Mesir terhindar dari resiko bencana kelaparan.
Hasan Ali menyebutkan kaitan hal ini dengan Firman
Allah SWT dalam Qs. Yusuf, ayat : 46 – 49
يوسف أيها الصديق أفتنافى سبع
بقرات سمان يأكلهن سبع عجاف وسبع سنبلت خضروأخريا بست لعلى أرجع ألى الناس لعلهم
يعلمون ﴿٤٦﴾ قال تزرعون
سبع سنين دأبا فما حصدتم فذروه فى سنبله إلا قليلا مما تأكلون ﴿٤٧﴾ ثم يأتى من بعد
ذالك سبع شداد يأكلن ما قدمتم لهن إلا قليلا مما تحصنون ﴿٤٨﴾ ثم يأتى من بعد ذالك
عام فيه يغاث الناس وفيه يعصرون ﴿٤۹﴾
Artinya
: “Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru: “Yusuf, hai orang
yang amat dipercaya, teranglah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang
gemuk-gemuk yang dimakan oleh sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir
(gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada
orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya”. Yusuf berkata: “Supaya kamu
bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai
hendaklah kamu biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian
setelah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang
kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit
gandum) yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang yang padanya manusia
diberi hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur”. (Qs. Yusuf
:46 – 49).[15]
Ayat ini juga memberikan pelajaran berharga bagi manusia
pada saat ini (modern) yang secara ekonomi dituntut agar mengadakan persiapan
secara matang untuk menghadapi masa-masa yang sulit jikalau menimpanya pada
waktu yang akan datang. Dalam ayat tersebut diatas Allah SWT menunjukkan dalil
dan bukti yang nyata kepada manusia bahwa praktik asuransi atau bisnis
pertanggungan telah berkembang sejak zaman dahulu dan ada bersamaan dengan
kehadiran manusia. Paling tidak terekam melalui cerita Nabi Yusuf di atas dan
penjelasan Al-Qur’an atau Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Begitu dalam sumber hukum Islam yang kedua yaitu
Al-hadist, ada juga menerangkan tentang anjuran untuk menghindari resiko, salah
satunya adalah :
عن أنس بن مالك رضى الله عنهما
قال : قال رجل يا رسول الله صلى الله عليه وسلم أعقلها أوأتو كل؟ قال : أعقلها
وتوكل (رواه التر مذى)
Dr. Anas bin Malik ra, bertanya seseorang kepada
Rasulullah SAW, tentang (untanya) : “Apa (unta) ini saya ikat saja atau
langsung saya bertawakal pada Alla SWT?”. Bersabda Rasululla SAW:
“Pertama ikatlah unta itu kemudian bertawakal kepada Allah SWT.” (HR.
At-tarmudzi)”.[16]
Dalam Hadits ini pun Rasulullah SAW memberi tuntunan pada
manusia agar selalu bersikap waspada terhadap kerugian atau musibah yang akan
terjadi, bukannya langsung menyerahkan segala kepada Allah, tetapi harus ada
usaha untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.
Dalam perspektif Al-Qur’an kebutuhan manusia ditentukan
oleh konsep maslahah, dimana konsep
kebutuhan dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari kajian perilaku konsumen dari
kerangka tujuan syariah Islam yaitu: Tercapainya kesejahteraan umat manusia.[17] Begitu pula halnya barang dan jasa
Asuransi syariah yang memberikan maslahah disebut kebutuhan manusia.
Menurut khallaf, bahwa tujuan umum syar’i dalam
mensyariatkan hukum ialah terwujudnya kemaslahatan umum dalam kehidupan,
mendapatkan keuntungan dan menghindari bahaya.[18] Kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini terdiri atas
beberapa hal yang bersifat kebutuhan pokok (dharuriyyah),
kebutuhan (hajiyyah), dan penyempurna
(Tahsiniyah).
Dalam
hal ini keberadaan Asuransi Syariah dapat dikatakan sebagai kebutuhan hajiyyah.
Kebutuhan hajiyyah yaitu suatu yang diperlukan oleh manusia dengan maksud untuk
membuat ringan, lapang dan nyaman dalam menanggulangi kesulitan-kesulitan
kehidupan.[19]
B. Prinsip-Prinsip
Asuransi Syariah
Prinsip dalam asuransi syari’ah adalah wa
ta’awanu ‘alal birri wat-taqwa
(tolong-menolong kamu sekalian dalam kebaikan dan takwa) dan al-ta’min
(rasa aman). Prinsip ini menjadikan para anggota atau peserta asuransi sebagai
sebuah keluarga besar yang satu dengan yang lainnya saling menjamin dan
menanggung resiko.
Hal ini disebabkan transaksi yang dibuat dalam
asuransi syari’ah adalah akad takafuli (saling menanggung), bukan akad tabaduli
(saling menukar) yang selam ini digunakan oleh asuransi konvensional, yaitu
pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan.
Para pakar ekonomi Islam mengemukakan bahwa
asuransi syari’ah atau asuransi takaful ditegakkan atas tiga prinsip utama,
yaitu:[20]
1.
Saling bertanggung jawab, yang
berarti para peserta asuransi takaful memiliki rasa tanggung jawab bersama
untuk membantu dan menolong peserta lain yang mengalami musibah atau kerugian
dengan ikhlas, karena memikul tanggung jawab dengan niat ikhlas adalah ibadah.
Rasa tanggung jawab terhadap sesama merupakan kewajiban setiap muslim.
Rasa tanggung jawab ini tentu lahir dari sifat saling menyayangi, mencintai,
saling membantu dan rasa mementingkan kebersamaan untuk mendapatkan kemakmuran
bersama dalam mewjudkan masyarakat yang beriman, bertakwa dan harmonis.
Dengan prinsip ini, maka
asuransi takaful merealisir perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Rasulullah
SAW dalam As-Sunnah tentang kewajiban untuk tidak memerhatikan kepentingan diri
sendiri semata tapi juga mesti mementingkan orang lain atau masyarakat.
2.
Saling bekerja sama atau saling
membantu, yang berarti di antara peserta asuransi takaful yang satu dengan yang
lainnya saling bekerja sama dan saling tolong menolong dalam mengatasi
kesulitan yang dialami karena sebab musibah yang diderita.
3.
Saling melindungi penderitaan
satu sama lain, yang berarti bahwa para peserta asuransi takaful akan berperan
sebagai pelindung bagi peserta lain yang mengalami musibah.
Sedangkan menurut Hasan Ali menyebutkan prinsip
asuransi syari’ah terdiri dari 9 prinsip dasar, yaitu :
1.
Tauhid
Tauhid artinya mengesakan Dia sekira-kira tiadalah
diperoleh sekutu pada yang diesakan, dan yakin bahwa segala sesuatu tidak lepas
dari penglihatannya.[21]
Firman Allah
dalam Qs. Al-hadid :4
وهومعكم أين ما
كنتم ﴿٤﴾
Artinya
: “….. dan Dia selalu bersamamu dimanapun kamu berada ….[22]
Bahwa dalam setiap gerak langkah serta bangunan hukum
harus mencerminkan nilai-nilai ketuhanan yang menciptakan suasana dan kondisi
bermuamalah yang tertuntun oleh nilai-nilai ketuhanan tersebut paling tidak
setiap melakukan aktiviats berasuransi ada semacam keyakinan dalam hati bahwa
Allah SWT selalu mengawasi seluruh gerak langkah kita dan selalu berada bersama
kita. Kalau pemahaman semacam ini terbentuk dalam setiap pemain yang terlibat
dalam perusahaan asuransi maka tahap awal masalah yang sangat urgensi tersebut
terlalui dan dapat melangsungkan perjalanan bermuamalah seterusnya.
2.
Keadilan
Yaitu
terpenuhinya nilai-nilai keadilan (justis)
antara pihak-pihak yang terikat dengan akad asuransi sebagai upaya dalam
menempatkan hak dan kewajiban antara nasabah (anggota) dan perusahaan asuransi.[23]
Dimana nasabah wajib untuk selalu membayar iuran uang santunan (premi) dalam
jumlah tertentu kepada perusahaan asuransi dan mempunyai hak untuk mendapatkan
sejumlah dana jika terjadi peristiwa kerugian. Sedangkan perusahaan sebagai
pengelola dana mempunyai kewajiban membayar klaim (dana santunan) kepada
nasabah.
3. Tolong
menolong
Seseorang yang masuk
asuransi, sejak awal harus mempunyai niat dan motivasi untuk membantu dan
meringankan beban temannya yang pada suatu ketika mendapat musibah atau
kerugian, maka segenap anggota asuransi sama-sama menanggungnya.
4. Kerja
sama
Manusia sebagai makhluk
yang mendapat mandate dari khaliqnya untuk mewujudkan perdamaian dan kemakmuran
di muka bumi mempunyai dua wajah yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya,
yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial
manusia tidak akan dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan dari yang lain.
Dengan terwujudnya kerja sama antar sesama manusia baru dapat merealisasikan
kedudukannya sebagai makhluk sosial. Kerja sama dalam bisnis asuransi dapat
terwujud dalam bentuk akad yang dijadikan acuan antara kedua belah pihak yang
terlibat.
5. Amanah
(al-manah)
Amanah
artinya jujur, tidak mengerjakan dosa atau menyampaikan dengan sebenarnya.[24]
Prinsip amanah dalam
organisasi perusahaan dapat terwujud dalam nilai-nilai akuntabilitas
(pertanggungjawaban) perusahaan melalui penyajian laporan keuangan tiap
periode. Perusahaan asuransi member kesempatan bagi nasabah untuk mengakses
laporan keuangan perusahaan. Sedangkan bagi nasabah juga harus berkewajiban
menyampaikan informasi yang benar berkaitan dengan pembeyaran premi dan tidak
memanipulasi kerugian yang menimpa dirinya.
6. Kerelaan
(al-ridha)
Sikap rela dan ridha
dalam melakukan transaksi (akad), dan tidak ada paksaan antara pihak-pihak yang
terikat oleh perjanjian akad. Sehingga kedua belah pihak bertransaksi atas
dasar kerelaan bukan paksaan. Kerelaan
yaitu memberikan secara ikhlas untuk tujuan saling membantu satu sama lain.[25] Hal
ini diterapkan pada setiap anggota (nasabah) asuransi agar mempunyai motivasi
dari awal untuk merelakan sejumlah dana (premi) yang disetorkan ke perusahaan,
yang difungsikan sebagai dana sosial untuk tujuan membantu anggota yang lain
jika mengalami bencana kerugian.
7. Larangan
riba
Dalam asuransi syariah
unsur riba merupakan hal yang paling di tentang karena bertentangan dengan
prinsip muamalat dalam Islam,
Riba
yaitu pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bati dan keuntungannya
hanya di dapatkan oleh satu pihak saja.[26]
Di asuransi Islam masing-masing pemegang polis akan mendapat nilai tambah,
nilai tambah tersebut bukan bunga, tetapi bagi hasil dari sistem mudharabah.
8. Larangan
judi
Adanya unsur gharar menimbulkan al-qumar. Sedangkan al-Qumar
sama dengan al-maisir (judi), Syafi’i Antonio mengatakan bahwa judi artinya
salah satu pihak yang untung, namun pihak yang lain justru mengalami kerugian.[27]
Menurut
Muhammad Fadli Yusuf, bahwa pemegang polis mengambil asuransi itu tidak dapat
disebut judi, yang disebut judi jika perusahaan asuransi mengandalkan banyak
atau sedikit klaim yang dibayar. Sebab, keuntungan perusahaan asuransi sangat
dipengaruhi oleh banyak atau sedikitnya klaim yang dibayarkan.[28] Dalam
asuransi syariah unsur ini dihilangkan karena bersifat untung-untungan.
9. Larangan
ketidakpastian/ketidakjelasan (gharar)
Unsur gharar yaitu ketidakjelasan
dan ketidaktransparan. Menurut Mazhab
Syafi’i, gharar adalah sesuatu yang akibat tersembunyi dalam pandangan kita.[29] Masalah
yang diutamakan dalam kegiatan ini adalah akad yang digunakan. Akad tersebut
harus bebas dari gharar. Islam sangat menekankan kejelasan akad dalam praktek
muamalah dan menjadi prinsip utama, karena akan menentukan sah atau tidaknya
secara syariah, begitu juga halnya dengan sumber dana pembayaran kalim,
keabsahan syar’i penerimaan uang klaim itu sendiri, kemana dana di investasikan
serta untuk penentuan halal haramnya perolehan keuntungan investasi peserta.
Begitu juga halnya dengan prinsip operasional asuransi syariah berbeda
dengan asuransi konvensional, asuransi syariah harus beroperasi sesuai dengan
prinsip syariat Islam dengan cara menghilangkan sama sekali
kemungkinan-kemungkinan terjadinya hal-hal yang telah disebut di atas.
Prinsip operasional
asuransi syariah mempunyai ciri-ciri khas, sebagai berikut:
1.
Niat, semangat, tata cara pengelolaan, jenis usaha, dan
pengawasan syariah.
a.
Dana asuransi diperoleh dari pemodal dan peserta asuransi
di dasarkan atas niat dan semangat persaudaraan untuk saling membantu pada
waktu diperlukan.
b.
Tata cara pengelolaan tidak terlibat unsur-unsur yang
bertentangan dengan Syariat Islam
c.
Jenis asuransi Islam terdiri dari :
1)
Asuransi jiwa yang memberikan perlindungan kepada peserta
atau ahli warisnya sebagai akibat kematian, dan sebagainya.
2) Asuransi
kerugian yang memberikan perlindungan atas kerugian harta benda karena
kebakaran, kecurian, dan sebagainya.
d. Terdapat
Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional perusahaan agar
tidak menyimpang dari tuntunan syariat pada asuransi syariah yang perlu
mendapat perhatian adalah agar format sebagai perjanjian yang mengikat para
pihak dan investasi yang dilakukan perusahaan tidak menyimpang.
2. Modal
Saham
Modal saham yang disetor para
pemegang saham merupakan modal awal usaha asuransi syariah untuk dibelanjakan
bagi kebutuhan awal operasi dan sisanya diinvestasikan sesuai dengan prinsip
Syariat Islam atas dasar konsep mudharabah.
Berdasarkan jenisnya
asuransi syariah mengadakan dua (2) bidang asuransi yaitu : Asuransi jiwa (life insurance) dan Asuransi kerugian (General insurance).
1. Asuransi
jiwa (life insurance) adalah bentuk
asuransi yang memberikan perlindungan dalam menghadapi musibah kematian dan
kecelakaan atas diri peserta asuransi.[30]
Berbeda dengan kerugian yang bersifat umum, bentuk asuransi ini bersifat
individu karena jaminan yang diberikan melekat pada diri seseorang.
Pengelolaan dana
asuransi jiwa secara umum menggunakan dua sistem pendekatan, yaitu:
a. Pengelolaan
dana dengan unsur tabungan yang disebut dana investasi dimana setiap peserta
wajib membayar sejumlah uang (premi) secara teratur kepada perusahaan. Meskipun
perusahaan menetapkan jumlah minimum premi yang bisa dibayarkan, namun pada
prinsipnya pembayaran premi tergantung pada kemampuan peserta. Setiap peserta
dapat membayar premi tersebut rekening Koran, giro atau membayar secara
langsung.
Peserta dapat memilih pembayaran,
baik bulanan, kuartal, semesteran, maupun tahunan sesuai kemampuan. Melalui
system ini, setiap premi asuransi yang telah di serahkan kepada perusahaan
asuransi akan di masukkan ke dalam dua rekening secara terpisah, yaitu :
(1) Rekening
khusus Tabarru’ (participant special
account), yaitu rekening yang diniatkan untuk kebaikan apabila ada diantara
peserta yang ditakdirkan meninggal dunia atau mengalami musibah lainnya.
(2) Rekening
tabungan (participant account) yang
dimiliki oleh para peserta asuransi rekening tabungan ini selain dapat
diinvestasikan (tijarah) juga dapat
di dermakan untuk kebaikan (tabarru’).
Mekanisme bagi hasil (mudharabah) pada asuransi jiwa untuk unsur
tabungan dapat dilihat pada skema berikut:
Mekanisme Kerja Produk Tabungan
PERUSAHAAN
|
Keuntungan
perusahaan
|
Biaya
operasional perusahaan
|
40%
Hasil
investasi
|
Investasi
|
Hubungan
Mudharabah 60
%
PESERTA
|
Premi
peserta
|
Rekening peserta
|
Rekening tabarru’
|
Total dana terkumpul
|
Rekening peserta
|
Rekening
tabarru’
|
Rekening
peserta
|
manfaat asuransi
|
dibayar
ke peserta
|
dibayar
ke peserta
|
b. Pengelolaan
dana tanpa unsur tabungan yang disebut tabarru’.
Dana yang tidak mengandung unsur tabungan akan disimpan pada rekening tabarru’ oleh perusahaan dalam suatu
rekening khusus. Berbeda dengan unsur tabungan dana klaim yang diberikan
melalui rekening tabarru’ sejak awal
sudah diniatkan oleh semua peserta asuransi untuk kepentingan tolong menolong.
Mekanisme bagi hasil (mudharabah) pada produk non tabungan
dapat dilihat pada skema berikut :
Mekanisme Kerja Produk Non Tabungan
PERUSAHAAN
|
Keuntungan
perusahaan
|
Biaya
operasional perusahaan
|
Bagian
perusahaan
|
Investasi
|
Hubungan
Total
dana terkumpul
|
Total
dana terkumpul
|
Hasil
Investasi
|
Premi peserta
|
Mudharabah
PESERTA 40 %
60 %
|
1.
Bagian peserta
|
Surplus
|
Beban
asuransi
|
Asuransi
kerugian (General Insurance) adalah
bentuk asuransi syariah yang memberikan perlindungan finansial untuk
mengantisipasi kerugian atas harta benda milik pesert
2. Asuransi
kerugian (General Insurance) adalah
bentuk asuransi syariah yang memberikan perlindungan finansial untuk
mengantisipasi kerugian atas harta benda milik peserta asuransi.[31]
Klaim asuransi akan dibayarkan kepada peserta yang mengalami musibah hingga
menimbulkan kerugian harta benda sesuai dengan perhitungan yang wajar untuk
kegiatan asuransi kerugian (umum), mekanisme pengelolaan dananya sama dengan
asuransi jiwa tanpa unsur tabungan.
Jangka waktu
pertanggungan untuk produk-produk asuransi kerugian (misalnya asuransi
kebakaran, kendaraan bermotor, kecelakaan diri, dll) biasanya berlaku untuk
periode satu tahun, maka produk ini tidak mengandung unsur tabungan (non saving), akibatnya seluruh premi
yang terkumpul akan dimasukkan kedalam satu pool/fund untuk dikelola oleh
perusahaan.
Jika dari total dana
ditambah hasil investasi dan dikurangi beban-beban asuransi, maka surplus dana
tersebut akan dibagi hasilkan antara peserta dan perusahaan sesuai nisbah yang
sudah ditentukan di awal perjanjian. Namun apabila dalam investasi mengalami
kerugian, maka peserta asuransi sebagai shahibul maal harus siap menanggung
resiko tersebut, kecuali jika kerugian itu disebabkan oleh kesalahan dari pihak
perusahaan asuransi sebagai mudharib.
C. Penentuan Kompensasi
Bagi Para Korban
Istilah kompensasi
ialah seluruh imbalan yang diterima karyawan atas hasil kerja karyawan tersebut
pada organisasi. Kompensasi bisa berupa fisik maupun non fisik, harus dihitung dan diberikan kepada
karyawan sesuai dengan pengorbanan yang telah diberikannya kepada
organisasi/perusahaan tempat ia bekerja.[32]
Dalam kamus ilmiah kompensasi yaitu ganti kerugian (menimbulkan keuntungan
dalam suatu hal karena dalam hal lain telah mengalami kerugian”.[33]
Ganti rugi atau istilah
lain kompensasi merupakan kebijakan dari perusahaan asuransi peserta asuransi
yang muncul karena ada klaim dari pesertanya sebagai pemegang polis mengalami
suatu peristiwa atau menjadi korban dari peristiwa tersebut.
Permasalahan ganti rugi
dalam polis asuransi muncul, hanya jika ada resiko pada sabject matter polis
disetiap waktu setelah dimulainya polis dan sebelum saat jatuh temponya”.[34]
Pada akhir polis pelaku sepakat untuk berusaha memberikan jaminan materiil yang
selayaknya terhadap resiko tak terduga yang menyebabkan kerusakan atau kerugian
pada sabject matter polis, dengan alasan kontribusi. Jaminan materiil
yang disepakati untuk diberikan sebagai ganti rugi (in demnity) yaitu: “Bahwa peserta asuransi tidak boleh mengambil
keuntungan finansial dari kerugian yang dideritanya dari perusahaan asuransi.
Perusahaan asuransi harus membayar peserta asuransi sejumlah uang ganti rugi,
tidak boleh besar dari kerugian finansial yang di derita tertanggung”.[35]
Prinsip ini sesuai
dengan pasal 253 kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang berbunyi:
“Pertanggunagn yang melampaui jumlah harganya atau kepentingan yang
sesungguhnya, hanyalah berlaku sampai jumlah nilainya”.[36]
Selanjutnya penulis
ingin menerangkan siapakah yang dimaksud korban dalam hal ini. Menurut Muliadi:
Korban ialah
orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderiat
kerugian termasuk kerugian fisik dan mental, emosional, ekonomi, atau gangguan
substansial terhadap hak-haknya yang fundamental melalui perbuatan/komisi yang
melanggar hukum pidana dari masing-masing Negara, termasuk penyalahgunaan
kekuasaan”.[37]
Disini korban yang dimaksud ialah para peserta itu sendiri sebagai pemegang
polis. Menurut pasal 255 KUDH, polis yaitu : “suatu tanggungan harus ditulis
dalam suatu surat tanggungan (akta tanggungan) sebagai dokumen perjanjian
asuransi”.[38] Sebagai korban tentu layak mendapat kompensasi dari
perusahaan asuransinya setelah yang bersangkutan mengajukan klain terlebih
dahulu untuk mendapatkan ganti rugi atas resiko yang di asuransikan.
Setiap peserta yang ingin mendapat ganti rugi (kompensasi) dahulu harus
melalui langkah-langkahnya antara lain :
1.
Pemberitahuan klaim: sasaran setelah peristiwa yang sekiranya akan membuat
tertanggung menderita kerugian, tertanggung atau pihak yang mewakilinya secara
melaporkan kepada penanggung. Laporan lisan harus di pertegas dengan laporan
tertulis, pada tahap ini tertanggung, dan dokumen apa saja yang harus di
lengkap untuk tertenggung.
2.
Bukti klaim kerugian, peserta yang mendapat musibah diminta menyediakan
fakta-fakta yang utuh dan bukti-bukti kerugian. Untuk tujuan ini, penting bagi
peserta yang mendapat musibah untuk menyerahkan klaim tertulis dengan
melengkapi lembaran klaim standar.
3.
Penyelidikan ; proses setelah
laporan yang dilampiri dengan dokumen pendukung diterima oleh penanggung
dilakukan analisa administrasi. Missal-nya, mengenai apakah premi sah
dibayarkan atau belum. Apabila tahap ini telah dilalui, penanggung akan
memutuskan untuk segera melakukan survey ke lapangan atau menunjuk Independent
adjuster, jika diperlukan. Sesuai dengan KUHP Undang-undang no. 8 tahun 1981 tentang
Hukum acara pidana, pasal 102 ayat 1 yang berbunyi: “Penyelidikan yang
mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa
yang patut di duga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan
penyelidikan yang diperlukan. Sesuai dengan KUHP Undang-Undang nomor 8 tahun
1981 tentang hokum acara pidana, pasal 102 ayat 1 yang berbunyi: “Penyelidikan
yang mengetahui, menerima, laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu
peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan
tindakan penyelidikan yang diperlukan.
4.
Penyelidikan klaim; setelah
terjadinya kesepakatan mengenai jumlah penggantian sesuai peraturan perundangan
yang berlaku, diisyaratkan bahwa pembayaran klaim tidak boleh lebih 30 hari
sejak terjadi kesepakatan tersebut”.[39]
Kemudian untuk
melakukan sebuah tuntutan, peserta asuransi tidak boleh merekayasa atas
kerugiannya. Dalam tuntutan ganti rugi paling tidak harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a.
Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang sengaja atau karena
kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan
para pihak lain.
b.
Kerugian yang dapat dikenakan
ganti rugi adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas.
c.
Besar ganti rugi adalah sesuai
nilai kerugian riil (real loss) yang
pasti dialami (fixed lost) dalam
transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potensial loss) karena adanya peluang
yang hilang.[40]
Dengan demikian tidak
semua klaim diterima langsung oleh perusahaan asuransi sebelum adanya
langkah-langkah yang disebut diatas. Dimana jika klaim ditolak, penanggung akan
segera menyampaikan surat penolakan atas klaim yang diajukan oleh tertanggung.
Sebaliknya, jika klaim secara teknis di jamin polis, penanggung akan segera
menghubungi tertanggung mengenai kesepakatan bentuk dan nilai penggantian yang
akan diberikan kepada tertanggung.
Selanjutnya
bagaimanakah perlindungan korban dalam asuransi di berlakukan, ini dapat kita
lihat dari keterangan diatas bahwa setiap peserta yang mengalami kerugian atas
dirinya atau harta benda yang diasuransikan maka pihak asuransi akan memberikan
ganti rugi yang sepantasnya sesuai kerugian yang dialaminya. Sebagai dasar
berpijak pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2007 tentang perlindungan korban pasal
28 G yang berbunyi :
“Setiap orang
yang berhak atas perlindungannya diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan harta benda yang dibawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat/tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi”. [41]
Dalam hal ini setiap peserta asuransi berhak mendapat perlindungan dari
pihak asuransi setelah dia membayar premi selama waktu yang ditentukan. Disini
peserta sebagai pemegang polis akan mendapat perlindungan sesuai dalam
perjanjian dalam polisnya.
Hak-hak peserta asuransi sebagai korban berdasarkan yang di asuransikannya
yaitu:
1. Hak
mendapat jaminan hidupnya untuk korban asuransi jiwa
2. Hak
mendapat ganti rugi untuk korban kebakaran, dll
3. Hak
mendapat pergantian/perbaikan untuk korban kecelakaan.
Ketentuan pemberian
ganti rugi diberikan atas resiko yang dialami oleh korban seperti kita ketahui
dalam asuransi ada dua bentuk perjanjian dalam menekan jumlah pembayaran pada
saat jatuh tempo asuransi yaitu: kontrak nilai (value contract) dan kontrak indemnitas (contract of indemnity). Kontrak nilai yaitu perjanjian dimana
jumlah pembayaran telah ditetapkan dimuka, contoh: asuransi jiwa. Sedangkan
kontrak indemnitas yaitu perjanjian yang jumlah santunannya didasarkan atas
jumlah kerugian financial yang sesungguhnya, contoh biaya perawatan rumah
sakit.Maka, untuk mengganti kerugian dalam asuransi kebakaran (umum) disebutkan
jumlah maksimum yang akan diganti. Misalnya, rumah si B diasuransikan sebesar
Rp 2.000.000 -, jika terjadi kebakaran (umpama Rp 1.250.000-) yang diganti
bukanlah Rp 2.000.000 - tetapi Rp 1.250.000 – (sebagian). Sedangkan
pada asuransi jiwa ganti kerugian bisa dibayarkan sebanyak jumlah yang
dipertanggungkan umpama si A mengasuransikan jiwanya sebesar Rp. 2. 500.000 –
jika ia meninggal dunia ahli warisnya akan menerima sebesar jumlah yang
dipertanggungkan itu meskipun kontrak belum sampai waktunya.[42]
Dalam polis asuransi
jiwa jika resiko terjadi pada peserta kapanpun setelah dimulainya polis dan
sebelum masa jatuh temponya dan dikomunikasikan kepada penanggung dalam jangka
waktu yang masuk akal, maka penaggung berkewajiban untuk memberikan ganti rugi
kepada pihak tertanggung dari almarhum (peserta) yang sah.[43]
Dengan demikian setiap
peserta yang telah terdaftar sebagai peserta asuransi wajib membayar uang premi
secara teratur kepada perusahaan sebagai saham pengikat dirinya dengan
perusahaan. Dengan merealisasikan dalam bentuk pembayaran setoran premi menjadi
2 macam, yaitu:
- Untuk
produk yang mengandung unsur tabungan (saving),
dan
- Untuk
produk yang tidak mengandung unsur tabungan (non saving)
Untuk produk yang
mengandung unsure tabungan (saving),
premi yang dibayarkan akan dibagi kedalam rekening tabungan peserta dan
rekening tabarru’.
1. Rekening
tabungan peserta yaitu dana titipan yang merupakan milik peserta, yang
dibayarkan bila;
- Perjanjian
berakhir
- Peserta
mengundurkan diri
- Peserta
meninggal dunia
2. Rekening
tabarru’, yaitu kumpulan dana
kebajikan yang telah diniatkan oleh peserta sebagai iuran dana kebajikan untuk
tujuan saling menolong dan saling membantu, yang dibayarkan bila;
- Peserta
meninggal dunia
- Perjanjian
telah berakhir (jika ada surplas dana)
Sedangkan untuk produk
yang tidak mengandung unsur tabungan (non
saving), setiap premi yang dibayarkan akan dimasukkan seluruhnya ke dalam
rekening tabarru’. Karena dana ini
digunakan untuk menolong antar sesama peserta jika ada musibah. Hal ini sesuai
dengan pasal 563, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 2 Tahun
2008 tentang kompilasi hokum ekonomi syariah yaitu kedudukan para pihak dalam
transaksi nontabungan:
a.
Dalam transaksi nontabungan,
peserta memberikan dana hibah yang digunakan untuk menolong peserta atau
peserta lain yang terkena musibah.
b.
Peserta secara individu merupakan
pihak yang berhak menerima dana nontabungan secara kolektif selaku penaggung:
dan
c.
Perusahaan bertindak sebagai
pengelola dana hibah atas dasar transaksi wakalah dari para peserta di luar
pengelolaan investasi.[44]
Disinilah keberadaan rekening tabarru’ menjadi sangat penting untuk
menjawab pertanyaan seputar ketidakjelasan (qharar)
asuransi dari sisi pembayaran klaim.
Contoh:
Seorang peserta
mengambil paket asuransi jiwa dengan masa pertanggungan 10 tahun dengan manfaat
10 juta rupiah. Bila ia ditakdirkan meninggal dunia di tahun kempat dan baru
sempat membayar sebesar 4 juta. Pernyataannya, sisa pembayaran sebesar 6 juta
diperoleh dari mana? disinilah kemudian timbul gharar tadi sehingga diperlukan
dana khusus untuk pembayaran klaim yang pada hakikatnya untuk tujuan tolong
menolong di ambil dari rekening tabarru’.
Selanjutnya, dana yang
berkumpul dari tabungan peserta sehingga pemilik modal (shahibul mal) akan diinvestasikan oleh pengelola (mudharib) ke dalam instrumen-instrumen
investasi yang tidak bertentangan dengan syariat. Apabila dari hasil investasi
diperoleh keuntungan (profit), maka setelah dikurangi beban-beban asuransi,
keuntungan tadi akan dibagi antara peserta dan pengelola berdasarkan mudharabah
(bagi hasil) dengan ketentuan yang telah disepakati.
D. Konsep dan
Manfaat Asuransi
Pada prinsip dasarnya
asuransi syariah menggunakan konsep takaful,
bertumpu pada sikap saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (wata’awanu alal birri wattaqwa) dan
tentu saja memberi perlindungan (at-ta’min)
satu sama lain saling menanggung musibah yang dialami peserta lain.
Seperti kita ketahui
asuransi syariah mempunyai keunggulan dan keistimewaan dalam segala
operasionalnya, demikian pula untuk konsepnya sendiri.
Konsep asuransi syariah antara lain:
1.
Perusahaan
asuransi sebagai pengelola atau operator saja dan bukan sebagai pemilik dana.
Pmilik dana tetap milik peserta sedangkan perusahaan hanya sebagai pemegang
amanah dalam mengelola dan menginvestasikan dana dari kontribusi peserta.
2.
Pemegang polis
di posisikan sebagai penabung, maka secara hokum, dana yang diasuransikan, sama
dengan tabungannya juga.
3.
Dari setiap
premi yang dibayarkan, sekitar lima persen akan dimasukkan ke dana tabarru’.
Ini sebagai tabungan bila terjadi klaim peserta secara tiba-tiba. Dana tabarru’ (sumbangan) sama dengan hibah
(pemberian), dana kebajikan ini diberikan dan diikhlaskan oleh peserta asuransi
syariah jika sewaktu-waktu akan dipergunakan untuk membayar klaim atau menafaat
asuransi lainnya.
4.
Dalam
mekanismenya asuransi tidak mengenal dana hangus. Dimana peserta yang baru
masuk sekalipun karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, maka dana
atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali kecuali
sebagian kecil saja yang sudah di niatkan untuk dana tabarru’ yang tidak dapat diambil.
5.
Setiap
keuntungan dari hasil investasi dibagi antara perusahaan asuransi dengan
peserta yaitu sistem mudharabah (bagi hasil).
6.
Segala
operasionalnya harus sesuai dengan prinsip syariah, jelas halal akan haramnya
bidang usaha investasinya.
Adapun manfaat asuransi
sesuai dengan sifatnya yaitu saling melindungi dan tolong-menolong, memiliki
beberapa manfaat yang diperoleh peserta asuransi atau ahli warisnya adalah
sebagai berikut:
1. Manfaat
asuransi pada produk tabungan (saving)
Manfaat asuransi pada
produk tabungan (saving) antara lain:
1)
Jika peserta di
takdirkan meninggal dunia dalam masa perjanjian, maka ahli warisnya akan
memperoleh:
- Dana
rekening tabungan yang telah disetor
- Bagian
keuntungan atas hasil investasi mudharabah dari rekening tabungan
- Selisih
dari manfaat asuransi awal (rencana menabung) dengan premi yang sudah dibayar.
Moh. Ma’sun Billah mengemukakan
bahwa, jika resiko terjadi pada peserta kapanpun setelah dimulainya polis dan
sebelum masa temponya dan dikomunikasikan kepada pihak asuransi dalam jangka
waktu yang masuk akal, maka pihak asuransi berkewajiban untuk memberikan ganti
rugi kepada pihak tertanggung dari almarhum (peserta) yang sah.[45]
2)
Bila peserta
mengundurkan diri sebelum perjanjian berakhir, maka peserta akan memperoleh:
- Dana
rekening tabungan yang telah disetor
- Bagian
keuntungan atas hasil investasi mudharabah dari rekening tabungan
3)
Bila peserta
masih hidup sampai pada selesainya masa pertanggungan, maka yang bersangkutan
akan memperoleh:
-
Seluruh angsuran
premi yang disetor ditambah dengan keuntungan dari hasil investasi.
-
Kelebihan dari
rekening khusus/tabarru’ apabila setelah dikurangi biaya operasional
perusahaan.
2.
Manfaat asuransi pada produk non saving antara lain:
1)
Bila peserta di takdirkan meninggal dunia dalam masa
perjanjian, maka ahli warisnya akan mendapatkan dana santunan meninggal dari
perusahaan.
2)
Bila peserta hidup, sampai perjanjian berakhir, maka
peserta akan mendapatkan bagian keuntungan atas rekening tabarru’ yang
ditentukan oleh perusahaan dengan skema mudharabah.
Dengan konsep ini setiap individu suatu masyarakat berada dalam jaminan atau
tanggungan masyarakatnya. Sesuai dengan misinya ialah: nilai aqidah, nilai
ibadah (ta’awun), iqtishadi (ekonomi). dan misi pembiayaan
ummat (sosial).
[1] Am, Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam Cet I.
(Jakarta: Kencana, 2004), hal. 58.
[2] Kuat Ismanto, Asuransi Syariah Tinjauan Azas Hukum-Hukum Isalm, Cet I. (Yogyakarta: Pustaka Fajar, 2009). Hal. 52.
[3]
Am, Hasan Ali, Asuransi Dalam…., hal. 129.
[4] Burhanuddin, Aspek hukum Lembaga Keuangan Syariah edisi I,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hal. 104.
[5] Ibid,
hal. 68.
[6]
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah,
edisi 1, (Jakarta: PT Raja Grasindo persada, 2007), hal. 96.
[7] Burhanuddin, Hukum Kontrak Syariah, ed 1. Cet. 1
(BPfe. Yogyakarta: Oktober, 2009), hal. 5.
[8] Ibid. hal. 63
[9]
Departemen Agama RI. Mushaf Al-Qur’anul Terjemah. (Jakarta:
Pena Pundi Aksara, 2002). hal 106.
[16] AM., Hasan Ali, Asuransi
Dalam…., hal. 119.
[17]
Am, Hasan Ali, Asuransi Dalam…., hal. 119.
[18] Zaki Fuad Chalil, Horizon Ekonomi Syariah: Pemenuhan Kebutuhan
dan Distribusi Pendepatan Cet I (Yogyakarta: Ak Group, 2008), hal. 70.
[20] Muhammad
Syafi’i Antonio, Prinsip Dasar Operasi
Asuransi, (Jakarta: Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, 1994), hal. 148.
[21] Fadhil, Masailal Muhtadi,
(Surabaya: Almaktabah Sakafiah, TT), hal. 5.
[24] Adnan Yahya, Kitab Tauhid,
(Jakarta: PT. Sumber Bahagia, TT), hal. 24.
[28] Aat Hidayat,
Mengenal Sistem Ekonomi Islam, Ed. 1
Cet. 1, (Yogyakarata: PT. Pustaka Insani Madani, 2009), hal. 56.
[34] Moh. Ma’sum Billah, Kontekstualisasi Takaful dalam Asuransi
Modern, (Malaysia: Sweet dmaxwell Asia, 2010), hal. 249.
[35] Henry Faisal Noor, Ekonomi Manajeral, ed. 1-2, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hal.386-387.
[39] Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General), Cet I,
(Jakarta: Gema Insani, 2004), hal. 261-262.
[44] Kompilasi Hukum Ekonimi Syariah,
ed revisi (red), Cet. I (Jakarta: Kencana, November 2009), hal. 156.
kl menurut saya.., hukum asuransi dalam islam sah sah saja selama asuransi tersebut sifatnya sosial.. misal bpjs kesehatan..
ReplyDelete