Selamat Datang Telah Berkunjung Ke Website Saya,Hub:085260300796

facebook fans

indonesia

Rahmad Kibitz Part II

login

indo

site update

Wednesday 15 April 2015

PRAKTEK ASURANSI SYARIAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


A.       Pengertian Asuransi Syariah
Asuransi adalah satu cara untuk memelihara manusia dalam menghadapi resiko (ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam perjalanan kegiatan hidupnya termasuk aktifitas ekonominya. Dalam bahasa Arab, Asuransi disebut at-ta’mim yang berasal dari kata amana yang memiliki arti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman dan bebas dari rasa takut. Asuransi adalah suatu persetujuan dimana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin, untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian, yang kemungkinan di derita oleh yang dijamin, karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas[1].
Menurut Dewan Syariah Nasional MUI, dalam fatwa DSN No. 21/DSN – MUI/IX/2001, Asuransi Syariah yaitu usaha saling melindungi dan tolong – menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah”.[2] Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud adalah yang tidak mengandung penipuan (gharar) yaitu ketidak-jelasan dan ketidak transparan, perjudian (Maysir), bunga (riba), penganiayaan (zhulm), suap (risywah), barang haram dan maksiat. Di asuransi syariah itu sendiri akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri dari: akad Mudharabah (bagi hasil), dan akad tarbarru’ (hibah).
Menurut pendapat Hasan Ali menyatakan bahwa: “Akad mudharabah ialah bentuk akad kerjasama antara dua orang atau lebih yang mengharuskan pemilik modal (dalam hal ini nasabah asuransi) menyerahkan sejumlah dana (premi) kepada perusahaan asuransi (mudharib) untuk dikelola.[3]
Dana yang terkumpul oleh perusahaan asuransi diinvestasikan agar memperoleh keuntungan (profit) yang nantinya akan dibagi antara perusahaan dan nasabah asuransi dengan persentase nisbah yang telah disepakati sejak awal perjanjian. Sedangkan apabila usaha tersebut merugi maka kerugian tersebut akan di tanggung sepenuhnya oleh pihak shahibul mal sepanjang hal itu disebabkan oleh resiko bisnis dan bukan karena kelelaian mudharib.
Akad Tabarru’ ialah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan kebaikan dan tolong menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.[4] Akad Tabarru’ merupakan bentuk transakasi atau perjanjian kontrak yang bersifat nirlaba (not for profit transaction) sehingga tidak boleh digunakan untuk tujuan komersial atau bisnis tetapi semat-mata untuk tujuan tolong-menolong dalam rangka kebaikan (sosial). Pihak yang meniatkan Tabarru’ tidak boleh mensyaratkan imbalan apapun. Menurut Yusuf Qardhawi, dana Tabarru’ ini haram untuk ditarik kembali karena dapat disamakan dengan hibah.[5]
Dalam asuransi syariah rukun-rukun akadnya adalah meliputi:
1.    Agid, yaitu pihak-pihak yang mengadakan agid (perusahaan dengan peserta)
2.    Ma’kud’alaihi, yaitu sesuatu yang di akadkan atasnya (barang dan bayaran).
3.    Sighah (ijab dan Kabul).[6]
Hal-hal yang disebutkan dalam akad, antara lain:
1.    Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan
2.    Cara dan waktu pembayaran premi
3.    Jenis akad mudharabah dan/atau tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Selain itu asuransi syariah adalah sebuah sistem dimana para peserta mendonasikan sebagian atau seluruh kontribusi/premi yang mereka bayar dan digunakan untuk membayar klaim atas musibah yang dialami oleh peserta yang lain. Peranan perusahaan disini hanya sebatas pengelola operasional perusahaan asuransi serta investasi dari dana-dana/kontribusi yang diterima/di limpahkan kepada perusahaan.
Untuk mendapatkan asuransi, setiap orang dikenakan premi yaitu kewajiban peserta asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad. Setelah terdaftar sebagai peserta (anggota) asuransi, maka seseorang dengan sendirinya akan memiliki klaim, yaitu hak peserta asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad. Jika seseorang menjadi peserta asuransi, dalam istilah syariah disebut dengan muamman (tertanggung) sedangkan perusahaan asuransi disebut dengan muammin (penanggung) selayaknya memulai sebuah asuransi, nasabah mengadakan kontrak dengan perusahaan asuransi.
Tercapainya kesepakatan (ijab kabul) diantara masing-masing pihak dalam penyusunan kontrak syari’ah menimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban dimana para pihak wajib melaksanakan hak dan kewajiban yang telah mereka sepakati. Adapun menurut pendapat Burhanuddin menyatakan bahwa:
Hak ialah kekuasaan atas sesuatu atau apa yang menjadi kewajiban seorang kepada yang lainnya, kekuasaan atas sesuatu merupakan pengertian apabila ditinjau dari pemilik hak (Shahib al haqq), sedangkan apa yang menjadi kewajiban seseorang kepada yang lainnya merupakan bentuk pembebanan hukum yang berlaku apabila ditinjau dari sudut pandang orang yang menjalankan kewajiban (multazim).[7]

Sedangkan kewajiban ialah keharusan yang ditetapkan oleh syari’at atas seseorang dapat menentukan hak dalam akad”.[8]
Hak dan kewajiban dalam kontrak merupakan dua sisi yang bersifat saling timbal balik, hak bagi salah satu pihak menjadi kewajiban pihak lain. Begitu juga sebaliknya, kewajiban bagi salah satu pihak merupakan hak pihak lain. Maka setiap peserta yang telah terdaftar sebagai peserta asuransi wajib membayar sejumlah uang (premi) secara teratur kepada perusahaan, besar premi yang dibayarkan tergantung kepada keuangan peserta, akan tetapi, perusahaan menetapkan jumlah minimum premi yang akan dibayarkan oleh peserta.
Proses hubungan peserta dan perusahaan dalam mekanisme pertanggungan pada asuransi syariah adalah sharing of risk atau “saling menanggung resiko”. Apabila terjadi musibah, maka semua peserta asuransi syariah saling menanggung. Dengan demikian, tidak terjadi transfer resiko (transfer of risk) atau “memindahkan resiko” dari peserta ke perusahaan seperti pada asuransi konvensional.
Asuransi syariah disebut juga dengan asuransi ta’awan yang artinya tolong-menolong atau saling membantu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa asuransi ta’awan prinsip dasarnya adalah dasar syariat yang saling toleran terhadap sesama manusia untuk menjalin kebersamaan dalam meringankan bencana yang dialami peserta.
Prinsip ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 2:
وتعاونوا على البر والتقوى ولاتعاونوا على الإثم والعدوان واتقوا الله  إن الله شد يد العقاب
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. Al-Maidah:2)[9].
Para ahli hukum Islam kontemporer menyadari sepenuhnya, bahwa status hukum asuransi syariah belum pernah ditetapkan oleh para pemikir hukum Islam dahulu (fuqaha). Pemikiran asuransi syariah seperti berlaku sekarang ini, merupakan hasil pergumulan antara pemahaman hukum syariat dengan realitas yang terjadi.
Namun apabila di cermati melalui kajian secara mendalam, maka ditemukan bahwa pada asuransi terdapat maslahat sehingga para ahli hukum Islam (kontemporer) mengadopsi manajemen asuransi berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam kontek ini asuransi dibolehkan walaupun ada perbedaan pendapat timbul dalam sebagaian cara merealisasikan prinsip tersebut.
Beberapa pendapat para ulama mengenai hukum asuransi ditinjau dari fiqh Islam yang paling mengemuka, perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:
1.    Pendapat pertama: Mengharamkan
“Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, termasuk asuransi jiwa”[10]. Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad bakhil al-muth’i (mufti Mesir). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah:
a.       Asuransi sama dengan judi;
b.      Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti;
c.       Asuransi mengandung unsur–unsur riba/renten;
d.      Asuransi mengandung unsur-unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau dikurangi.
e.       Premi-premi yang sudah dibayar akan diputus dalam praktik-praktik riba.
f.        Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai
g.       Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului takdir Allah.[11]

Dari alasan-alasan yang dikemukakan oleh pendapat yang pertama ini yang mengharamkan asuransi, penulis setuju atas dasar asuransi seperti ini bertentangan dengan ajaran Islam dimana praktiknya hanya menguntungkan satu belah pihak saja atau bersifat untung-untungan yang kita tahu tidak dibenarkan dalam Islam.
2.    Pendapat kedua : Membolehkan
Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar hukum Islam pada Fakultas Syariah Universitas Syiria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar hukum Islam pada Universitas Kairo Mesir, dan Abd. Rahman Isa pengarang kitab al-Muamalah al-Haditsah wa Ahkamuha. Mereka beralasan:
a.         tidak ada Nash (Al-Quran dan Sunnah) yang melarang asuransi
b.         ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak
c.         saling menguntungkan kedua belah pihak
d.         Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan
e.         Asuransi termasuk akad, madharabah (bagi hasil)
f.           Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta’awuniyah)
g.         Asuransi dianalogikan (Qiyaskan) dengan sistem persiun seperti taspen”[12]

Untuk pendapat kedua ini penulis cenderung lebih membenarkan hal demikian, karena apabila  dicermati lebih lanjut asuransi seperti ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama, dimana tidak merugikan satu sama lain. Hal ini dapat membangun perekonomian ummat, seperti yang dijalankan di asuransi syari’ah pada umumnya.
3.    Pendapatan ketiga : Asuransi Sosial Boleh dan Komersial Haram
Pendapat ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abzu Zahra (guru besar hukum Islam pada Universitas Kairo). Alasan kelompok-kelompok ketiga ini sama dengan kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (Haram) dan sama pula dengan alas an kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (boleh)”[13]
Walaupun sebagian kalangan Islam beranggapan bahwa asuransi sama dengan menentang Qadha dan Qadar atau bertentangan dengan takdir. Padahal sesungguhnya tidak demikian, karena pada dasarnya Islam mengakui bahwa kecelakaan, kemalangan, dan kematian merupakan takdir Allah yang tidak dapat di tolak. Hanya saja sebagai manusia diperintahkan membuat perencanaan untuk menghadapi masa depan. Seperti firman Allah dalam Surat Al-Hasyr, ayat 18 :
يأيها الذين ءامنوا اتقوا الله ولتنظرنفس ماقد مت لغد واتقوا الله إن الله خبير بما تعملون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. AL-Hasyr:18).[14]
Jelas sekali dalam ayat ini kita diperintahkan untuk merencanakan apa yang akan kita perbuat untuk masa depan. Dalam hal ini manusia ditugaskan hanya mengatur bagaimana cara mengelola kehidupannya agar mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat. Adapun salah satu caranya adalah dengan menyiapkan bekal untuk kepentingan dimasa akan datang agar segala sesuatu yang benilai negatif, baik dalam bentuk musibah kecelakaan, kebakaran ataupun kematian. Dapat di minimalisir kerugiannya, karena kemampuan manusia hanya sebatas memprediksi dan merencanakan sesuatu yang belum terjadi serta memproteksi segala sesuatu yang di rasa akan memberikan kerugian dimasa akan datang, sedangkan Allah menentukannya.
Hal serupa terhadap konsep asuransi juga telah dicontohkan oleh Nabi Yusuf secara jelas dalam menakwilkan mimpi Raja Mesir tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus. Yang diartikan oleh Nabi Yusuf bahwa selama tujuh tahun Negeri Mesir akan mengalami panen yang melimpah dan kemudian diikuti masa paceklik selama tujuh tahun berikutnya.
Untuk berjaga-jaga terhadap bencana kelaparan tersebut Raja Mesir mengikuti saran Nabi Yusuf dengan menyisihkan sebagian dari hasil panen pada tujuh tahun pertama sebagai cadangan bahan makanan pada masa paceklik. Dengan demikian pada masa tujuh tahun paceklik rakyat Mesir terhindar dari resiko bencana kelaparan.
Hasan Ali menyebutkan kaitan hal ini dengan Firman Allah SWT dalam Qs. Yusuf, ayat : 46 – 49
يوسف أيها الصديق أفتنافى سبع بقرات سمان يأكلهن سبع عجاف وسبع سنبلت خضروأخريا بست لعلى أرجع ألى الناس لعلهم يعلمون ﴿٤٦﴾ قال تزرعون سبع سنين دأبا فما حصدتم فذروه فى سنبله إلا قليلا مما تأكلون ﴿٤٧﴾ ثم يأتى من بعد ذالك سبع شداد يأكلن ما قدمتم لهن إلا قليلا مما تحصنون ﴿٤٨﴾ ثم يأتى من بعد ذالك عام فيه يغاث الناس وفيه يعصرون ﴿٤۹﴾
Artinya : “Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru: “Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, teranglah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya”. Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian setelah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur”. (Qs. Yusuf :46 – 49).[15]
Ayat ini juga memberikan pelajaran berharga bagi manusia pada saat ini (modern) yang secara ekonomi dituntut agar mengadakan persiapan secara matang untuk menghadapi masa-masa yang sulit jikalau menimpanya pada waktu yang akan datang. Dalam ayat tersebut diatas Allah SWT menunjukkan dalil dan bukti yang nyata kepada manusia bahwa praktik asuransi atau bisnis pertanggungan telah berkembang sejak zaman dahulu dan ada bersamaan dengan kehadiran manusia. Paling tidak terekam melalui cerita Nabi Yusuf di atas dan penjelasan Al-Qur’an atau Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Begitu dalam sumber hukum Islam yang kedua yaitu Al-hadist, ada juga menerangkan tentang anjuran untuk menghindari resiko, salah satunya adalah :

عن أنس بن مالك رضى الله عنهما قال : قال رجل يا رسول الله صلى الله عليه وسلم أعقلها أوأتو كل؟ قال : أعقلها وتوكل (رواه التر مذى)


Dr. Anas bin Malik ra, bertanya seseorang kepada Rasulullah SAW, tentang (untanya) : “Apa (unta) ini saya ikat saja atau langsung saya bertawakal pada Alla SWT?”. Bersabda Rasululla SAW: “Pertama ikatlah unta itu kemudian bertawakal kepada Allah SWT.” (HR. At-tarmudzi)”.[16]
Dalam Hadits ini pun Rasulullah SAW memberi tuntunan pada manusia agar selalu bersikap waspada terhadap kerugian atau musibah yang akan terjadi, bukannya langsung menyerahkan segala kepada Allah, tetapi harus ada usaha untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan.
Dalam perspektif Al-Qur’an kebutuhan manusia ditentukan oleh konsep maslahah, dimana konsep kebutuhan dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari kajian perilaku konsumen dari kerangka tujuan syariah Islam yaitu: Tercapainya kesejahteraan umat manusia.[17] Begitu pula halnya barang dan jasa Asuransi syariah yang memberikan maslahah disebut kebutuhan manusia.



Menurut khallaf, bahwa tujuan umum syar’i dalam mensyariatkan hukum ialah terwujudnya kemaslahatan umum dalam kehidupan, mendapatkan keuntungan dan menghindari bahaya.[18] Kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini terdiri atas beberapa hal yang bersifat kebutuhan pokok (dharuriyyah), kebutuhan (hajiyyah), dan penyempurna (Tahsiniyah).
Dalam hal ini keberadaan Asuransi Syariah dapat dikatakan sebagai kebutuhan hajiyyah. Kebutuhan hajiyyah yaitu suatu yang diperlukan oleh manusia dengan maksud untuk membuat ringan, lapang dan nyaman dalam menanggulangi kesulitan-kesulitan kehidupan.[19]

B.  Prinsip-Prinsip Asuransi Syariah
Prinsip dalam asuransi syari’ah adalah wa ta’awanu ‘alal  birri wat-taqwa (tolong-menolong kamu sekalian dalam kebaikan dan takwa) dan al-ta’min (rasa aman). Prinsip ini menjadikan para anggota atau peserta asuransi sebagai sebuah keluarga besar yang satu dengan yang lainnya saling menjamin dan menanggung resiko.
Hal ini disebabkan transaksi yang dibuat dalam asuransi syari’ah adalah akad takafuli (saling menanggung), bukan akad tabaduli (saling menukar) yang selam ini digunakan oleh asuransi konvensional, yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan.
Para pakar ekonomi Islam mengemukakan bahwa asuransi syari’ah atau asuransi takaful ditegakkan atas tiga prinsip utama, yaitu:[20]
1.      Saling bertanggung jawab, yang berarti para peserta asuransi takaful memiliki rasa tanggung jawab bersama untuk membantu dan menolong peserta lain yang mengalami musibah atau kerugian dengan ikhlas, karena memikul tanggung jawab dengan niat ikhlas adalah ibadah.
Rasa tanggung jawab terhadap sesama merupakan kewajiban setiap muslim. Rasa tanggung jawab ini tentu lahir dari sifat saling menyayangi, mencintai, saling membantu dan rasa mementingkan kebersamaan untuk mendapatkan kemakmuran bersama dalam mewjudkan masyarakat yang beriman, bertakwa dan harmonis.
Dengan prinsip ini, maka asuransi takaful merealisir perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Rasulullah SAW dalam As-Sunnah tentang kewajiban untuk tidak memerhatikan kepentingan diri sendiri semata tapi juga mesti mementingkan orang lain atau masyarakat.
2.      Saling bekerja sama atau saling membantu, yang berarti di antara peserta asuransi takaful yang satu dengan yang lainnya saling bekerja sama dan saling tolong menolong dalam mengatasi kesulitan yang dialami karena sebab musibah yang diderita.
3.      Saling melindungi penderitaan satu sama lain, yang berarti bahwa para peserta asuransi takaful akan berperan sebagai pelindung bagi peserta lain yang mengalami musibah.
Sedangkan menurut Hasan Ali menyebutkan prinsip asuransi syari’ah terdiri dari 9 prinsip dasar, yaitu :
1.      Tauhid
Tauhid artinya mengesakan Dia sekira-kira tiadalah diperoleh sekutu pada yang diesakan, dan yakin bahwa segala sesuatu tidak lepas dari penglihatannya.[21]
Firman Allah dalam Qs. Al-hadid :4
وهومعكم أين ما كنتم ﴿٤﴾

Artinya : “….. dan Dia selalu bersamamu dimanapun kamu berada ….[22]

Bahwa dalam setiap gerak langkah serta bangunan hukum harus mencerminkan nilai-nilai ketuhanan yang menciptakan suasana dan kondisi bermuamalah yang tertuntun oleh nilai-nilai ketuhanan tersebut paling tidak setiap melakukan aktiviats berasuransi ada semacam keyakinan dalam hati bahwa Allah SWT selalu mengawasi seluruh gerak langkah kita dan selalu berada bersama kita. Kalau pemahaman semacam ini terbentuk dalam setiap pemain yang terlibat dalam perusahaan asuransi maka tahap awal masalah yang sangat urgensi tersebut terlalui dan dapat melangsungkan perjalanan bermuamalah seterusnya.

2.      Keadilan
Yaitu terpenuhinya nilai-nilai keadilan (justis) antara pihak-pihak yang terikat dengan akad asuransi sebagai upaya dalam menempatkan hak dan kewajiban antara nasabah (anggota) dan perusahaan asuransi.[23] Dimana nasabah wajib untuk selalu membayar iuran uang santunan (premi) dalam jumlah tertentu kepada perusahaan asuransi dan mempunyai hak untuk mendapatkan sejumlah dana jika terjadi peristiwa kerugian. Sedangkan perusahaan sebagai pengelola dana mempunyai kewajiban membayar klaim (dana santunan) kepada nasabah.
3.      Tolong menolong
Seseorang yang masuk asuransi, sejak awal harus mempunyai niat dan motivasi untuk membantu dan meringankan beban temannya yang pada suatu ketika mendapat musibah atau kerugian, maka segenap anggota asuransi sama-sama menanggungnya.
4.      Kerja sama
Manusia sebagai makhluk yang mendapat mandate dari khaliqnya untuk mewujudkan perdamaian dan kemakmuran di muka bumi mempunyai dua wajah yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia tidak akan dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan dari yang lain. Dengan terwujudnya kerja sama antar sesama manusia baru dapat merealisasikan kedudukannya sebagai makhluk sosial. Kerja sama dalam bisnis asuransi dapat terwujud dalam bentuk akad yang dijadikan acuan antara kedua belah pihak yang terlibat.
5.      Amanah (al-manah)
Amanah artinya jujur, tidak mengerjakan dosa atau menyampaikan dengan sebenarnya.[24]
Prinsip amanah dalam organisasi perusahaan dapat terwujud dalam nilai-nilai akuntabilitas (pertanggungjawaban) perusahaan melalui penyajian laporan keuangan tiap periode. Perusahaan asuransi member kesempatan bagi nasabah untuk mengakses laporan keuangan perusahaan. Sedangkan bagi nasabah juga harus berkewajiban menyampaikan informasi yang benar berkaitan dengan pembeyaran premi dan tidak memanipulasi kerugian yang menimpa dirinya.
6.      Kerelaan (al-ridha)
Sikap rela dan ridha dalam melakukan transaksi (akad), dan tidak ada paksaan antara pihak-pihak yang terikat oleh perjanjian akad. Sehingga kedua belah pihak bertransaksi atas dasar kerelaan bukan paksaan. Kerelaan yaitu memberikan secara ikhlas untuk tujuan saling membantu satu sama lain.[25] Hal ini diterapkan pada setiap anggota (nasabah) asuransi agar mempunyai motivasi dari awal untuk merelakan sejumlah dana (premi) yang disetorkan ke perusahaan, yang difungsikan sebagai dana sosial untuk tujuan membantu anggota yang lain jika mengalami bencana kerugian.
7.      Larangan riba
Dalam asuransi syariah unsur riba merupakan hal yang paling di tentang karena bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam, Riba yaitu pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bati dan keuntungannya hanya di dapatkan oleh satu pihak saja.[26] Di asuransi Islam masing-masing pemegang polis akan mendapat nilai tambah, nilai tambah tersebut bukan bunga, tetapi bagi hasil dari sistem mudharabah.
8.      Larangan judi
Adanya unsur gharar menimbulkan al-qumar. Sedangkan al-Qumar sama dengan al-maisir (judi), Syafi’i Antonio mengatakan bahwa judi artinya salah satu pihak yang untung, namun pihak yang lain justru mengalami kerugian.[27]
Menurut Muhammad Fadli Yusuf, bahwa pemegang polis mengambil asuransi itu tidak dapat disebut judi, yang disebut judi jika perusahaan asuransi mengandalkan banyak atau sedikit klaim yang dibayar. Sebab, keuntungan perusahaan asuransi sangat dipengaruhi oleh banyak atau sedikitnya klaim yang dibayarkan.[28] Dalam asuransi syariah unsur ini dihilangkan karena bersifat untung-untungan.
9.      Larangan ketidakpastian/ketidakjelasan (gharar)
Unsur gharar yaitu ketidakjelasan dan ketidaktransparan. Menurut Mazhab Syafi’i, gharar adalah sesuatu yang akibat tersembunyi dalam pandangan kita.[29] Masalah yang diutamakan dalam kegiatan ini adalah akad yang digunakan. Akad tersebut harus bebas dari gharar. Islam sangat menekankan kejelasan akad dalam praktek muamalah dan menjadi prinsip utama, karena akan menentukan sah atau tidaknya secara syariah, begitu juga halnya dengan sumber dana pembayaran kalim, keabsahan syar’i penerimaan uang klaim itu sendiri, kemana dana di investasikan serta untuk penentuan halal haramnya perolehan keuntungan investasi peserta.
Begitu juga halnya dengan prinsip operasional asuransi syariah berbeda dengan asuransi konvensional, asuransi syariah harus beroperasi sesuai dengan prinsip syariat Islam dengan cara menghilangkan sama sekali kemungkinan-kemungkinan terjadinya hal-hal yang telah disebut di atas.
Prinsip operasional asuransi syariah mempunyai ciri-ciri khas, sebagai berikut:
1.      Niat, semangat, tata cara pengelolaan, jenis usaha, dan pengawasan syariah.
a.       Dana asuransi diperoleh dari pemodal dan peserta asuransi di dasarkan atas niat dan semangat persaudaraan untuk saling membantu pada waktu diperlukan.
b.      Tata cara pengelolaan tidak terlibat unsur-unsur yang bertentangan dengan Syariat Islam
c.       Jenis asuransi Islam terdiri dari :
1)      Asuransi jiwa yang memberikan perlindungan kepada peserta atau ahli warisnya sebagai akibat kematian, dan sebagainya.
2)      Asuransi kerugian yang memberikan perlindungan atas kerugian harta benda karena kebakaran, kecurian, dan sebagainya.
d.      Terdapat Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional perusahaan agar tidak menyimpang dari tuntunan syariat pada asuransi syariah yang perlu mendapat perhatian adalah agar format sebagai perjanjian yang mengikat para pihak dan investasi yang dilakukan perusahaan tidak menyimpang.
2.      Modal Saham
Modal saham yang disetor para pemegang saham merupakan modal awal usaha asuransi syariah untuk dibelanjakan bagi kebutuhan awal operasi dan sisanya diinvestasikan sesuai dengan prinsip Syariat Islam atas dasar konsep mudharabah.
Berdasarkan jenisnya asuransi syariah mengadakan dua (2) bidang asuransi yaitu : Asuransi jiwa (life insurance) dan Asuransi kerugian (General insurance).
1.      Asuransi jiwa (life insurance) adalah bentuk asuransi yang memberikan perlindungan dalam menghadapi musibah kematian dan kecelakaan atas diri peserta asuransi.[30] Berbeda dengan kerugian yang bersifat umum, bentuk asuransi ini bersifat individu karena jaminan yang diberikan melekat pada diri seseorang.
Pengelolaan dana asuransi jiwa secara umum menggunakan dua sistem pendekatan, yaitu:
a.       Pengelolaan dana dengan unsur tabungan yang disebut dana investasi dimana setiap peserta wajib membayar sejumlah uang (premi) secara teratur kepada perusahaan. Meskipun perusahaan menetapkan jumlah minimum premi yang bisa dibayarkan, namun pada prinsipnya pembayaran premi tergantung pada kemampuan peserta. Setiap peserta dapat membayar premi tersebut rekening Koran, giro atau membayar secara langsung.
Peserta dapat memilih pembayaran, baik bulanan, kuartal, semesteran, maupun tahunan sesuai kemampuan. Melalui system ini, setiap premi asuransi yang telah di serahkan kepada perusahaan asuransi akan di masukkan ke dalam dua rekening secara terpisah, yaitu :
(1)   Rekening khusus Tabarru’ (participant special account), yaitu rekening yang diniatkan untuk kebaikan apabila ada diantara peserta yang ditakdirkan meninggal dunia atau mengalami musibah lainnya.
(2)   Rekening tabungan (participant account) yang dimiliki oleh para peserta asuransi rekening tabungan ini selain dapat diinvestasikan (tijarah) juga dapat di dermakan untuk kebaikan (tabarru’).
Mekanisme bagi hasil    (mudharabah) pada asuransi jiwa untuk unsur tabungan dapat dilihat pada skema berikut:
Mekanisme Kerja Produk Tabungan
PERUSAHAAN
Keuntungan perusahaan
Biaya operasional perusahaan
 






40%
Hasil investasi
Investasi
           Hubungan
           Mudharabah                                                                                          60 %

         PESERTA

Premi peserta
Rekening peserta
Rekening tabarru’
Total dana terkumpul
Rekening peserta
Rekening tabarru’
Rekening peserta
manfaat asuransi
dibayar ke peserta
dibayar ke peserta
 










b.      Pengelolaan dana tanpa unsur tabungan yang disebut tabarru’. Dana yang tidak mengandung unsur tabungan akan disimpan pada rekening tabarru’ oleh perusahaan dalam suatu rekening khusus. Berbeda dengan unsur tabungan dana klaim yang diberikan melalui rekening tabarru’ sejak awal sudah diniatkan oleh semua peserta asuransi untuk kepentingan tolong menolong.
Mekanisme bagi hasil (mudharabah) pada produk non tabungan dapat dilihat pada skema berikut :
Mekanisme Kerja Produk Non Tabungan
PERUSAHAAN
Keuntungan perusahaan
                                                                                                          


Biaya operasional perusahaan
 




Bagian perusahaan
Investasi
Hubungan
Total dana terkumpul
Total dana terkumpul
Hasil Investasi
Premi peserta
Mudharabah

PESERTA                                                                                                                                                          40 %
                                                                                                                                    60 %
 


1.     
Bagian peserta
Surplus
Beban asuransi
Asuransi kerugian (General Insurance) adalah bentuk asuransi syariah yang memberikan perlindungan finansial untuk mengantisipasi kerugian atas harta benda milik pesert


2.      Asuransi kerugian (General Insurance) adalah bentuk asuransi syariah yang memberikan perlindungan finansial untuk mengantisipasi kerugian atas harta benda milik peserta asuransi.[31] Klaim asuransi akan dibayarkan kepada peserta yang mengalami musibah hingga menimbulkan kerugian harta benda sesuai dengan perhitungan yang wajar untuk kegiatan asuransi kerugian (umum), mekanisme pengelolaan dananya sama dengan asuransi jiwa tanpa unsur tabungan.
Jangka waktu pertanggungan untuk produk-produk asuransi kerugian (misalnya asuransi kebakaran, kendaraan bermotor, kecelakaan diri, dll) biasanya berlaku untuk periode satu tahun, maka produk ini tidak mengandung unsur tabungan (non saving), akibatnya seluruh premi yang terkumpul akan dimasukkan kedalam satu pool/fund untuk dikelola oleh perusahaan.
Jika dari total dana ditambah hasil investasi dan dikurangi beban-beban asuransi, maka surplus dana tersebut akan dibagi hasilkan antara peserta dan perusahaan sesuai nisbah yang sudah ditentukan di awal perjanjian. Namun apabila dalam investasi mengalami kerugian, maka peserta asuransi sebagai shahibul maal harus siap menanggung resiko tersebut, kecuali jika kerugian itu disebabkan oleh kesalahan dari pihak perusahaan asuransi sebagai mudharib.

C.  Penentuan Kompensasi Bagi Para Korban
Istilah kompensasi ialah seluruh imbalan yang diterima karyawan atas hasil kerja karyawan tersebut pada organisasi. Kompensasi bisa berupa fisik maupun non fisik, harus dihitung dan diberikan kepada karyawan sesuai dengan pengorbanan yang telah diberikannya kepada organisasi/perusahaan tempat ia bekerja.[32] Dalam kamus ilmiah kompensasi yaitu ganti kerugian (menimbulkan keuntungan dalam suatu hal karena dalam hal lain telah mengalami kerugian”.[33]
Ganti rugi atau istilah lain kompensasi merupakan kebijakan dari perusahaan asuransi peserta asuransi yang muncul karena ada klaim dari pesertanya sebagai pemegang polis mengalami suatu peristiwa atau menjadi korban dari peristiwa tersebut.
Permasalahan ganti rugi dalam polis asuransi muncul, hanya jika ada resiko pada sabject matter polis disetiap waktu setelah dimulainya polis dan sebelum saat jatuh temponya”.[34] Pada akhir polis pelaku sepakat untuk berusaha memberikan jaminan materiil yang selayaknya terhadap resiko tak terduga yang menyebabkan kerusakan atau kerugian pada sabject matter polis, dengan alasan kontribusi. Jaminan materiil yang disepakati untuk diberikan sebagai ganti rugi (in demnity) yaitu: “Bahwa peserta asuransi tidak boleh mengambil keuntungan finansial dari kerugian yang dideritanya dari perusahaan asuransi. Perusahaan asuransi harus membayar peserta asuransi sejumlah uang ganti rugi, tidak boleh besar dari kerugian finansial yang di derita tertanggung”.[35]
Prinsip ini sesuai dengan pasal 253 kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang berbunyi: “Pertanggunagn yang melampaui jumlah harganya atau kepentingan yang sesungguhnya, hanyalah berlaku sampai jumlah nilainya”.[36]
Selanjutnya penulis ingin menerangkan siapakah yang dimaksud korban dalam hal ini. Menurut Muliadi:
Korban ialah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderiat kerugian termasuk kerugian fisik dan mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental melalui perbuatan/komisi yang melanggar hukum pidana dari masing-masing Negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan”.[37]

Disini korban yang dimaksud ialah para peserta itu sendiri sebagai pemegang polis. Menurut pasal 255 KUDH, polis yaitu : “suatu tanggungan harus ditulis dalam suatu surat tanggungan (akta tanggungan) sebagai dokumen perjanjian asuransi”.[38] Sebagai korban tentu layak mendapat kompensasi dari perusahaan asuransinya setelah yang bersangkutan mengajukan klain terlebih dahulu untuk mendapatkan ganti rugi atas resiko yang di asuransikan.
Setiap peserta yang ingin mendapat ganti rugi (kompensasi) dahulu harus melalui langkah-langkahnya antara lain :
1.      Pemberitahuan klaim: sasaran setelah peristiwa yang sekiranya akan membuat tertanggung menderita kerugian, tertanggung atau pihak yang mewakilinya secara melaporkan kepada penanggung. Laporan lisan harus di pertegas dengan laporan tertulis, pada tahap ini tertanggung, dan dokumen apa saja yang harus di lengkap untuk tertenggung.
2.      Bukti klaim kerugian, peserta yang mendapat musibah diminta menyediakan fakta-fakta yang utuh dan bukti-bukti kerugian. Untuk tujuan ini, penting bagi peserta yang mendapat musibah untuk menyerahkan klaim tertulis dengan melengkapi lembaran klaim standar.
3.      Penyelidikan ; proses setelah laporan yang dilampiri dengan dokumen pendukung diterima oleh penanggung dilakukan analisa administrasi. Missal-nya, mengenai apakah premi sah dibayarkan atau belum. Apabila tahap ini telah dilalui, penanggung akan memutuskan untuk segera melakukan survey ke lapangan atau menunjuk Independent adjuster, jika diperlukan. Sesuai dengan KUHP Undang-undang no. 8 tahun 1981 tentang Hukum acara pidana, pasal 102 ayat 1 yang berbunyi: “Penyelidikan yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut di duga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan. Sesuai dengan KUHP Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 tentang hokum acara pidana, pasal 102 ayat 1 yang berbunyi: “Penyelidikan yang mengetahui, menerima, laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.
4.      Penyelidikan klaim; setelah terjadinya kesepakatan mengenai jumlah penggantian sesuai peraturan perundangan yang berlaku, diisyaratkan bahwa pembayaran klaim tidak boleh lebih 30 hari sejak terjadi kesepakatan tersebut”.[39]

Kemudian untuk melakukan sebuah tuntutan, peserta asuransi tidak boleh merekayasa atas kerugiannya. Dalam tuntutan ganti rugi paling tidak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.    Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan para pihak lain.
b.    Kerugian yang dapat dikenakan ganti rugi adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas.
c.    Besar ganti rugi adalah sesuai nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed lost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potensial loss) karena adanya peluang yang hilang.[40]

Dengan demikian tidak semua klaim diterima langsung oleh perusahaan asuransi sebelum adanya langkah-langkah yang disebut diatas. Dimana jika klaim ditolak, penanggung akan segera menyampaikan surat penolakan atas klaim yang diajukan oleh tertanggung. Sebaliknya, jika klaim secara teknis di jamin polis, penanggung akan segera menghubungi tertanggung mengenai kesepakatan bentuk dan nilai penggantian yang akan diberikan kepada tertanggung.
Selanjutnya bagaimanakah perlindungan korban dalam asuransi di berlakukan, ini dapat kita lihat dari keterangan diatas bahwa setiap peserta yang mengalami kerugian atas dirinya atau harta benda yang diasuransikan maka pihak asuransi akan memberikan ganti rugi yang sepantasnya sesuai kerugian yang dialaminya. Sebagai dasar berpijak pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2007 tentang perlindungan korban pasal 28 G yang berbunyi :
“Setiap orang yang berhak atas perlindungannya diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat/tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. [41]

Dalam hal ini setiap peserta asuransi berhak mendapat perlindungan dari pihak asuransi setelah dia membayar premi selama waktu yang ditentukan. Disini peserta sebagai pemegang polis akan mendapat perlindungan sesuai dalam perjanjian dalam polisnya.
Hak-hak peserta asuransi sebagai korban berdasarkan yang di asuransikannya yaitu:
1.      Hak mendapat jaminan hidupnya untuk korban asuransi jiwa
2.      Hak mendapat ganti rugi untuk korban kebakaran, dll
3.      Hak mendapat pergantian/perbaikan untuk korban kecelakaan.
Ketentuan pemberian ganti rugi diberikan atas resiko yang dialami oleh korban seperti kita ketahui dalam asuransi ada dua bentuk perjanjian dalam menekan jumlah pembayaran pada saat jatuh tempo asuransi yaitu: kontrak nilai (value contract) dan kontrak indemnitas (contract of indemnity). Kontrak nilai yaitu perjanjian dimana jumlah pembayaran telah ditetapkan dimuka, contoh: asuransi jiwa. Sedangkan kontrak indemnitas yaitu perjanjian yang jumlah santunannya didasarkan atas jumlah kerugian financial yang sesungguhnya, contoh biaya perawatan rumah sakit.Maka, untuk mengganti kerugian dalam asuransi kebakaran (umum) disebutkan jumlah maksimum yang akan diganti. Misalnya, rumah si B diasuransikan sebesar Rp 2.000.000 -, jika terjadi kebakaran (umpama Rp 1.250.000-) yang diganti bukanlah  Rp 2.000.000 -  tetapi Rp 1.250.000 – (sebagian). Sedangkan pada asuransi jiwa ganti kerugian bisa dibayarkan sebanyak jumlah yang dipertanggungkan umpama si A mengasuransikan jiwanya sebesar Rp. 2. 500.000 – jika ia meninggal dunia ahli warisnya akan menerima sebesar jumlah yang dipertanggungkan itu meskipun kontrak belum sampai waktunya.[42]
Dalam polis asuransi jiwa jika resiko terjadi pada peserta kapanpun setelah dimulainya polis dan sebelum masa jatuh temponya dan dikomunikasikan kepada penanggung dalam jangka waktu yang masuk akal, maka penaggung berkewajiban untuk memberikan ganti rugi kepada pihak tertanggung dari almarhum (peserta) yang sah.[43]
Dengan demikian setiap peserta yang telah terdaftar sebagai peserta asuransi wajib membayar uang premi secara teratur kepada perusahaan sebagai saham pengikat dirinya dengan perusahaan. Dengan merealisasikan dalam bentuk pembayaran setoran premi menjadi 2 macam, yaitu:
-       Untuk produk yang mengandung unsur tabungan (saving), dan
-       Untuk produk yang tidak mengandung unsur tabungan (non saving)
Untuk produk yang mengandung unsure tabungan (saving), premi yang dibayarkan akan dibagi kedalam rekening tabungan peserta dan rekening tabarru’.
1.    Rekening tabungan peserta yaitu dana titipan yang merupakan milik peserta, yang dibayarkan bila;
-       Perjanjian berakhir
-       Peserta mengundurkan diri
-       Peserta meninggal dunia
2.    Rekening tabarru’, yaitu kumpulan dana kebajikan yang telah diniatkan oleh peserta sebagai iuran dana kebajikan untuk tujuan saling menolong dan saling membantu, yang dibayarkan bila;
-       Peserta meninggal dunia
-       Perjanjian telah berakhir (jika ada surplas dana)
Sedangkan untuk produk yang tidak mengandung unsur tabungan (non saving), setiap premi yang dibayarkan akan dimasukkan seluruhnya ke dalam rekening tabarru’. Karena dana ini digunakan untuk menolong antar sesama peserta jika ada musibah. Hal ini sesuai dengan pasal 563, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 2 Tahun 2008 tentang kompilasi hokum ekonomi syariah yaitu kedudukan para pihak dalam transaksi nontabungan:
a.       Dalam transaksi nontabungan, peserta memberikan dana hibah yang digunakan untuk menolong peserta atau peserta lain yang terkena musibah.
b.      Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana nontabungan secara kolektif selaku penaggung: dan
c.       Perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah atas dasar transaksi wakalah dari para peserta di luar pengelolaan investasi.[44]

 Disinilah keberadaan rekening tabarru’ menjadi sangat penting untuk menjawab pertanyaan seputar ketidakjelasan (qharar) asuransi dari sisi pembayaran klaim.
Contoh:
Seorang peserta mengambil paket asuransi jiwa dengan masa pertanggungan 10 tahun dengan manfaat 10 juta rupiah. Bila ia ditakdirkan meninggal dunia di tahun kempat dan baru sempat membayar sebesar 4 juta. Pernyataannya, sisa pembayaran sebesar 6 juta diperoleh dari mana? disinilah kemudian timbul gharar tadi sehingga diperlukan dana khusus untuk pembayaran klaim yang pada hakikatnya untuk tujuan tolong menolong di ambil dari rekening tabarru’.
Selanjutnya, dana yang berkumpul dari tabungan peserta sehingga pemilik modal (shahibul mal) akan diinvestasikan oleh pengelola (mudharib) ke dalam instrumen-instrumen investasi yang tidak bertentangan dengan syariat. Apabila dari hasil investasi diperoleh keuntungan (profit), maka setelah dikurangi beban-beban asuransi, keuntungan tadi akan dibagi antara peserta dan pengelola berdasarkan mudharabah (bagi hasil) dengan ketentuan yang telah disepakati.

D.  Konsep dan Manfaat Asuransi
Pada prinsip dasarnya asuransi syariah menggunakan konsep takaful, bertumpu pada sikap saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (wata’awanu alal birri wattaqwa) dan tentu saja memberi perlindungan (at-ta’min) satu sama lain saling menanggung musibah yang dialami peserta lain.
Seperti kita ketahui asuransi syariah mempunyai keunggulan dan keistimewaan dalam segala operasionalnya, demikian pula untuk konsepnya sendiri.
Konsep asuransi syariah antara lain:
1.      Perusahaan asuransi sebagai pengelola atau operator saja dan bukan sebagai pemilik dana. Pmilik dana tetap milik peserta sedangkan perusahaan hanya sebagai pemegang amanah dalam mengelola dan menginvestasikan dana dari kontribusi peserta.
2.      Pemegang polis di posisikan sebagai penabung, maka secara hokum, dana yang diasuransikan, sama dengan tabungannya juga.
3.      Dari setiap premi yang dibayarkan, sekitar lima persen akan dimasukkan ke dana tabarru’. Ini sebagai tabungan bila terjadi klaim peserta secara tiba-tiba. Dana tabarru’ (sumbangan) sama dengan hibah (pemberian), dana kebajikan ini diberikan dan diikhlaskan oleh peserta asuransi syariah jika sewaktu-waktu akan dipergunakan untuk membayar klaim atau menafaat asuransi lainnya.
4.      Dalam mekanismenya asuransi tidak mengenal dana hangus. Dimana peserta yang baru masuk sekalipun karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, maka dana atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil saja yang sudah di niatkan untuk dana tabarru’ yang tidak dapat diambil.
5.      Setiap keuntungan dari hasil investasi dibagi antara perusahaan asuransi dengan peserta yaitu sistem mudharabah (bagi hasil).
6.      Segala operasionalnya harus sesuai dengan prinsip syariah, jelas halal akan haramnya bidang usaha investasinya.
Adapun manfaat asuransi sesuai dengan sifatnya yaitu saling melindungi dan tolong-menolong, memiliki beberapa manfaat yang diperoleh peserta asuransi atau ahli warisnya adalah sebagai berikut:
1.    Manfaat asuransi pada produk tabungan (saving)
Manfaat asuransi pada produk tabungan (saving) antara lain:
1)      Jika peserta di takdirkan meninggal dunia dalam masa perjanjian, maka ahli warisnya akan memperoleh:
-       Dana rekening tabungan yang telah disetor
-       Bagian keuntungan atas hasil investasi mudharabah dari rekening tabungan
-       Selisih dari manfaat asuransi awal (rencana menabung) dengan premi yang sudah dibayar.
Moh. Ma’sun Billah mengemukakan bahwa, jika resiko terjadi pada peserta kapanpun setelah dimulainya polis dan sebelum masa temponya dan dikomunikasikan kepada pihak asuransi dalam jangka waktu yang masuk akal, maka pihak asuransi berkewajiban untuk memberikan ganti rugi kepada pihak tertanggung dari almarhum (peserta) yang sah.[45]
2)      Bila peserta mengundurkan diri sebelum perjanjian berakhir, maka peserta akan memperoleh:
-       Dana rekening tabungan yang telah disetor
-       Bagian keuntungan atas hasil investasi mudharabah dari rekening tabungan
3)      Bila peserta masih hidup sampai pada selesainya masa pertanggungan, maka yang bersangkutan akan memperoleh:
-         Seluruh angsuran premi yang disetor ditambah dengan keuntungan dari hasil investasi.
-         Kelebihan dari rekening khusus/tabarru’ apabila setelah dikurangi biaya operasional perusahaan.
2.    Manfaat asuransi pada produk non saving antara lain:
1)   Bila peserta di takdirkan meninggal dunia dalam masa perjanjian, maka ahli warisnya akan mendapatkan dana santunan meninggal dari perusahaan.
2)   Bila peserta hidup, sampai perjanjian berakhir, maka peserta akan mendapatkan bagian keuntungan atas rekening tabarru’ yang ditentukan oleh perusahaan dengan skema mudharabah.
Dengan konsep ini setiap individu suatu masyarakat berada dalam jaminan atau tanggungan masyarakatnya. Sesuai dengan misinya ialah: nilai aqidah, nilai ibadah (ta’awun), iqtishadi (ekonomi). dan misi pembiayaan ummat (sosial).




[1] Am, Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam Cet I. (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 58.

[2] Kuat Ismanto, Asuransi Syariah Tinjauan Azas Hukum-Hukum  Isalm, Cet I. (Yogyakarta: Pustaka Fajar, 2009). Hal. 52.
[3] Am, Hasan Ali, Asuransi Dalam…., hal. 129.

[4] Burhanuddin, Aspek hukum Lembaga Keuangan Syariah edisi I, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hal. 104.

[5] Ibid, hal. 68.
[6] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, edisi 1, (Jakarta: PT Raja Grasindo persada, 2007), hal. 96.
[7] Burhanuddin, Hukum Kontrak Syariah, ed 1. Cet. 1 (BPfe. Yogyakarta: Oktober, 2009), hal. 5.

[8] Ibid. hal. 63
[9] Departemen Agama RI. Mushaf Al-Qur’anul Terjemah. (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2002). hal 106.
[10] Kuat Ismanto, Asuransi Syariah Tinjauan Azas…..,hal. 53.

[11] Ibid, hal. 53.
[12] Ibid, hal. 53-54.
[13] Ibid, hal. 54.

[14] Departemen Agama RI. Mushaf Al-Qur’anul Terjemah….hal. 548.

[15] AM. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Islam.….hal. 103.


[16] AM., Hasan Ali, Asuransi Dalam…., hal. 119.

[17] Am, Hasan Ali, Asuransi Dalam…., hal. 119.

[18] Zaki Fuad Chalil, Horizon Ekonomi Syariah: Pemenuhan Kebutuhan dan Distribusi Pendepatan Cet I (Yogyakarta: Ak Group, 2008), hal. 70.

[19]  Ibid, hal. 70.
[20] Muhammad Syafi’i Antonio, Prinsip Dasar Operasi Asuransi, (Jakarta: Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, 1994), hal. 148.
[21] Fadhil, Masailal Muhtadi, (Surabaya: Almaktabah Sakafiah, TT), hal. 5.

[22] Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’anul Terjemah….hal. 843.
[23] Am, Hasan Ali, Asuransi Dalam…., hal. 133.
[24] Adnan Yahya, Kitab Tauhid, (Jakarta: PT. Sumber Bahagia, TT), hal. 24.

[25] Am, Hasan Ali, Asuransi Dalam…., hal. 133.
[26] Ibid, hal. 134.

[27] Ibid, hal. 134.
[28] Aat Hidayat, Mengenal Sistem Ekonomi Islam, Ed. 1 Cet. 1, (Yogyakarata: PT. Pustaka Insani Madani, 2009), hal. 56.

[29] Ibid, hal. 58.
[30] Ibid, hal. 122-123.
[31] Ibid, hal. 126.
[32]  http://www. presto.com/2012/04/pengertian-viktimologi.html

[33] Mas’ud Khasan Abdul Qohar, Kamus Ilmiah Populer, (Jakarta; Bintang Pelajar, 1999), hal. 181.

[34] Moh. Ma’sum Billah, Kontekstualisasi Takaful dalam Asuransi Modern, (Malaysia: Sweet dmaxwell Asia, 2010), hal. 249.

[35] Henry Faisal Noor, Ekonomi Manajeral, ed. 1-2, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hal.386-387.

[36] Niniek Suparni, KUHD dan Kepailitan, Cet. 7, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), hal. 81.
[37] http://www. presto.com/2012/04/pengertian-viktimologi.html

[38] Ninik Suoarni…..hal. 82.
[39] Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General), Cet I, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hal. 261-262.

[40] Burhanuddin, Hukum Kontrak Syariah…..hal. 65.
[42] Henry Faisal Noor, Ekonomi Manajeral………hal. 388.

[43] Moh. Ma’sun Billah, Kontekstualisasi Takaful dalam Asuransi Modern………..hal. 249.
[44] Kompilasi Hukum Ekonimi Syariah, ed revisi (red), Cet. I (Jakarta: Kencana, November 2009), hal. 156.
[45] Moh. Ma;sun Billah, Kontekstualisasi Takaful dalam Asuransi Modern……..hal. 249.

1 comments:

  1. kl menurut saya.., hukum asuransi dalam islam sah sah saja selama asuransi tersebut sifatnya sosial.. misal bpjs kesehatan..

    ReplyDelete

 
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))