A. Pengertian Asuransi
Banyak
definisi yang diberikan kepada istilah asuransi, dimana secara sepintas tidak
ada kesamaan antara definisi yang satu dengan yang lainnya. Hal ini bisa dimaklumi,
karena mereka dalam mendefinisikannya disesuaikan dengan sudut pandang yang
mereka gunakan dalam memandang asuransi.
Dalam Kitab
Undang-undang Hukum Dagang pasal 246
sebagaimana dikutip oleh Burhanuddin, asuransi/ pertanggungan adalah
suatu perjanjian yang mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang
tertanggung dengan menerima premi, untuk memberikan pergantian kepadanya karena
suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang
mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu.[1]
Asuransi
sering juga diistilahkan dengan “pertanggungan”. Adapun pengertiannya dapat
ditemukan dalam ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang
Usaha Perasuransian. Dalam undang-undang tersebut didefinisikan bahwa asuransi
atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, pihak
penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi,
untuk memberikan pergantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa
yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.[2]
Menurut
pasal 246 Wetboek van Koophadel
(kitab Undang-Undang Perniagaan) bahwa yang dimaksud dengan asuransi adalah
suatu persetujuan di mana pihak yang meminjam berjanji kepada pihak ynag
dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian, yang
mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa ynag
belum jelas akan terjadi.[3]
Menurut Sri Rejeki Hartono sebagaimana di kutip
oleh Suhrawardi K. Lubis secara umum yang dimaksud dengan resiko adalah setiap
kali orang tidak dapat menguasai dengan sempurna, atau mengetahui lebih duluan
mengenai masa yang akan datang.[4]
Menurut A. Abbas Salim memberi
pengertian, bahwa asuransi ialah suatu kemauan untuk menetapkan
kerugian-kerugian kecil (sedikit) yang sudah pasti sebagai (substitusi)
kerugian-kerugian besar yang belum pasti.[5]
Sedangkan menurut C.Arthur William Jr dan Richard M. Heins, Asuransi
adalah suatu pengaman terhadap kerugian finansial yang dilakukan oleh seorang
penanggung".
Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas
kiranya mengenai definisi asuransi yang dapat mencakup semua sudut pandang :
"Asuransi adalah suatu alat untuk mengurangi risiko yang melekat pada
perekonomian, dengan cara manggabungkan sejumlah unit-unit yang terkena risiko
yang sama atau hampir sama, dalam jumlah yang cukup besar, agar probabilitas
kerugiannya dapat diramalkan dan bila kerugian yang diramalkan terjadi akan
dibagi secara proposional oleh semua pihak dalam gabungan itu".
2.
Manfaat Asuransi
Asuransi
yang dikenal di Indonesia antara lain asuransi jiwa dan asuransi kerugian. Asuransi
kerugian adalah asuransi yang melindungi harta benda misalnya rumah beserta
isinya, apartemen, mobil dan lain-lain.
Asuransi
mobil ditujukan untuk melindungi dari berbagai ancaman bahaya yang tidak
terduga misalnya tabrakan, pencurian beberapa bagian mobil atau bahkan mobil
itu sendiri yang dicuri. Dengan melindungi mobil dengan asuransi, kita dapat
mengendarai mobil dengan rasa tenang dan aman ke manapun bepergian.[6]
Manfaat asuransi kendaraan yaitu, menempatkan posisi keuangan Tertanggung (Pelanggan)
kembali kepada saat sebelum terjadi kerugian. Namun selain itu, asuransi juga dapat mengurangi
ketidakpastian risiko, dapat mengurangi beban keuangan akibat timbulnya
kerugian yang datang secara tiba-tiba, memberikan ketenangan dalam bekerja dan
banyak manfaat lainnya.[7]
Manfaat asuransi dari kendaraan bermotor adalah melindungi dari berbagai
ancaman bahaya yang tidak terduga.
3.
Tujuan Asuaransi
Tujuan
asuransi yang utama adalah semata-mata untuk menjaga-jaga kalau terjadinya kerugian karena peristiwa itu. Apa
yang diperoleh tertanggung dalam terjadinya kerugian atas dirinya itu, tidak
dapat dipandang sebagai keuntungan bagaimana pun dalam hukum asuransi, pihak
tertanggung tidak diperkenankan memperoleh kekayaan melebihi dari apa yang
dipunyai sebelum terjadinya kerugian.
Adapun
tujuan asuransi lainya adalah sebagai berikut :
-
Untuk mengalih resiko yang semula ada pada
pihak pemilik kepada pihak asuransi yang bersedia menerima resiko tersebut,
dengan resiko dimaksud suatu kemungkinan tertimpa suatu kerugian.[8]
-
Untuk memberi ganti kerugian kepada pihak yang
bersangkutan dan mendapatkan keuntungan di samping melakukan beberapa jaminan
terhadap para pesertanya.[9]
Dalam
kitab KUHP pasal 264 juga disebutkan bahwa, tujuan asuransi adalah untuk
mencegah setidak-tidaknya menguragi resiko kerugian yang mungkin timbul karena
hilang, rusak atau musnahnya barang yang dipertanggungkan dari suatu kejadian
yang tidak pasti.[10]
Dari
uraian diatas dapat dipahami bahwa tujuan asuransi adalah untuk menjaga jangan
sampai suatu usaha menderita kerugian dan untuk member ganti rugi kepada pihak
yang bersangkutan.
a). Tujuan Pertanggungan Asuransi Kendaraan
Bermotor
Setiap
orang yang memiliki kendaraan bermotor baik roda dua atau lebih pasti
menghadapi suatu resiko bahwa nilai dari miliknya itu akan berkurang baik
karena hilangnya atau cacat dan rusak kendaraan-kendaraan bermotor atau
sebab-sebab yang lain. Resiko adalah kewajiban menanggung atau memikul kerugian
sebagai akibat dari suatu peristiwa di luar kesalahannya, yang menimpa
kendaraan bermotor menjadi miliknya. Besarnya resiko tersebut dapat diukur
dengan nilai kendaraan yang terkena bahaya dan hal ini tentu saja merugikan
pemiliknya. Maka makin besar kendaraan bermotor yang dimiliki seseorang makin besar
pula resikonya menghadapi hilang, rusak, atau tabrakan dalam kecelakaan. Banyak
diantara sebab-sebab yang menjadikan pengurangan nilai itu dapat dicegah dan
sudah diperkirakan terjadinya, misalnya keusangan (slijtage), yaitu
sesuatu kendaraan bermotor karena dipakai. Tetapi banyak juga sebab-sebab yang
mengurangi nilai kendaran bermotor itu mempunyai sifat yang tidak dapt dipasti
terlebih dahulu dan tidak dapat dicegah, misalnya : kebakaran, kecurian,
tabrakan kednaraan bermotor dan lain sebagainya.
Resiko
tabrakan kendaraan bermotor yang tidak parah masih dapat ditanggulangi oleh
pemiliknya sendiri dengan uang tabungan atau modal cadangan yang disimpannya.
Tetapi kalau resiko tabrakan itu menimbulkan korban dan menimbulkan kerugian
besar jumlahnya, akan terasa berat bagi pemilik kednaraan itu akan jatuh pailit
bila dia memiliki perusahaan kendaraan bermotor. Untuk menghindari hal tersebut
maka diusahakan agar resiko itu dapat diperingan atau dikurangi, bahkan
ditanggung oleh orang lain asal untuk itu diperjanjikan sebelumnya. Dengan cara
berasuransi maka orang yang menghadapi resiko atas harta kekayaan termasuk
kendaraan bermotor bermaksud untuk mengalihkan risikonya itu atau
setidak-tidaknya membagi resiko itu dengan pihak lain yang bersedia menerima pralihan
atau membagi resiko tersebut. Peruahaan yang pokok usahanya mengambil alih
resiko itu disebut: perusahaan pertanggungan atau perusahaan asuransi
pengalihan resiko tersebut dilakukan oleh pemilik harta benda, agar ia dapat
menjalankan usahanya dengan tanang dan tanpa kawatir akan kemungkinan adanya
kerugian besar yang akan membuatnya pailit atau jatuh miskin. Perusahaan
pertanggungan atau asuransi kendaraan bermotor dalam hal ini menjadi penanggung
sedangkan pemilik kendaraan bermotor itu disebut tertanggung. Jaman dahulu
penanggung itu berbentuk orang pribadi, sedangkan pada saat sekarang sudah
berupah menjadi suatu badan hukum, yaitu Perseroan terbatas, Perusahaan Umum
dan lain sebagainya.[11]
Dengan
demikian tampak bahwa tujuan perjanjian asuransi adalah: Mengalihkan segala
resiko yang ditimbulkan peristiwa-peristiwa yang tidak dapat diharapkan
terjadinya kepada orang lain yang mengambil resiko untuk mengganti kerugian.
Setiap
asuransi pada prinsipnya merupakan saling menanggung. Dengan tidak disadari para
tertanggung dalam satu pertanggungan merupakan suatu paguyuban (gemeenschap).
Dan diantaranya banyak tertanggung tersebut pada umumnya hanya satu atau dua
orang tanggung itu cukup dibayar dengan sebagian dari uang premi yang telah
diterima oleh penanggung dari para tertanggung yang jumlahnya tidak sedikit.
Jadi semakin banyak jumlah tertanggung yang khawatir akan suatu resiko umumnya
penanggung semakin untung. Kalau misalnya tertanggung pada satu macam yang
mengalami evemen, yang berakibat penanggung harus mengganti kerugian
atas suatu kecelakaan kendaraan bermotor diambilkan dari uang premi yang telah
dibayar oleh tertanggung dalam macam resiko yang dipilih yang sudah diterima
penanggung. Dengan ini dijelaskan bahwa makin banyak yang ditanggung oleh penanggung,
maka kemungkinan penanggung. Dengan ini jelaslah bahwa makin banyak yang
ditanggung oleh penanggung, maka kemungkinan penanggung mengalami kerugian
dalam perusahaan pertanggungannya semakin jauh.
B. Macam-Macam Asuransi
Asuransi kendaraan adalah pertanggungan yang
dilakukan oleh pihak suransi kepada peserta asuransi terhadap kendaraan dengan
berbagai macam jenis asuaransi kendaraan. Adapun macam-macam asuransi kendaraan adalah sebagai berikut:
1.
Asuransi Jiwa
Menurut Syafi’i
Antonio sebagaimana dikutip oleh Burhanuddin, Asuransi Jiwa adalah bentuk asuransi yang
memberikan perlindungan dalam menghadapi musibah kematian dan kecelakaan atas
diri peserta asuransi takaful.[12]
Asuransi ini memberi perlindungan
menghadapi musibah kematian dan kecelakaan atas peserta asuransi. Hal ini
bertujuan melindungi peserta asuransi dalam menghadapi musibah kecelakaan, baik
kecelakaan kendaraan bermotor maupun
akibat kecelakaan lainnya.
2.
Asuransi dagang
Asuransi
dagang adalah beberapa manusia bermufakat dalam mengadakan pertanggungan jawab
bersama untuk memikul kerugian yang menimpa salah seorang anggota dari kelompok
mereka. Apabila timbul kecelakaan yang merugikan salah satu anggota kelompoknya
yang telah berjanji, maka seluruh orang yang tergabung dalam perjanjian
tersebut akan memikul bersama beban kerugian itu dangan cara memungut derma
(iuran) yang telah ditetapkan atas dasar kerja sama untuk meringankan teman
yang tertimpa kecelakaan.[13]
3.
Asuransi Atas Bahaya Yang Menimpa Badan
Asuransi
atas bahaya yang menimpa badan adalah asuransi dengan keadaan- keadaan tertentu
pada asuransi jiwa atas kerusakan-kerusakan atas diri seseorang, seperti
asuransi mata, asuransi telinga, asuransi tangan dan asuransi- asuransi atas
penyakit-penyakit asuransi tertentu. Asuransi ini banyak dilakukan oleh
buruh-buruh industri yang dihadapi oleh bermacam-macam kecelakaan dalam
menjalankan tugasnya.
4.
Asuransi Kerugian
Menurut Syafi’i
Antonio takaful umum (asuransi kerugian) adalah bentuk asuransi syariah yang
memberikan perlindungan financial
dalam menghadapi bencana atau kecelakaan atas harta benda milik peserta
takaful.[14]
Klaim takaful akan dibayarkan kepada peserta yang mengalami musibah hingga
menimbulkan kerugian harta benda sesuai dengan perhitungan yang wajar. Baik
pada takaful keluarga maupun takaful umum, keuntungan yang diperoleh dari hasil
investasi dibagikan diantara perusahaan asuransi dengan peserta sesuai dengan
prinsip mudharabah dengan porsi
(nisba) pembagian yang telah disepakati sebelumnya.[15]
Takaful
umum adalah asuransi kerugian berbentuk syariah yang memberikan perlindungan
keuangan dalam menghadapi bencana atau kecelakaan atas harta benda milik
peserta takaful. Pembayaran kerugian bagi peserta yang mengalami musibah hingga
menimbulkan kerugian harta benda sesuai dengan perhitungan yang wajar.
Keuntungan yang diperoleh dari hasil investasi dibagikan diantara perusahaan
asuransi dengan peserta sesuai dengan prinsip mudharabah dengan porsi pembagian
yang telah disepakati sebelumnya.
5.
Asuransi Timbal Balik
Maksud
dengan asuransi tibal balik adalah beberapa orang memberi iuran tertentu yang
dikumpulkan dengan maksud meringankan atau melepaskan beban seseorang dari
mereka saat mendapat kecelakaan. Jika uang yang dikumpulkan tersebut telah habis,
dipungut lagi iuran yang baru untuk persiapan selanjutnya, demikian seterusnya.[16]
Asuransi ini diberikan kepada seseorang apabila ditimpakan musibah kecelakaan.
6.
Asuransi Pemerintah
Asuransi
adalah menjamin pembayaran harga kerugian kepada siapa saja yang menderita di
waktu terjadinya suatu kejadian yang merugikan tanpa memperhatikan keuntungan,
bahkan pemerintah menanggung kekurangan yang terdapat karena uang yang dipungut
sebagai iuran dan asuransi lebih kecil dari pada pembayaran kerugian yang harus
diberikan kepada penderita di waktu kerugian itu terjadi. Asuransi perintah
dilakukan secata obligator atau paksaan dan dilaksanakan oleh badan-badan yang
telah ditentukan untuk masing-masing keperluan. Asuransi pemerintah sahamnya
dimiliki sebagian besar atau 100 persen oleh pemerintah.[17]
7.
Asuransi Terhadap Bahaya-Bahaya Pertanggung jawaban
Sipil
Maksud
asuransi terhadap bahaya-bahaya pertanggungjawaban sipil adalah asuransi yang
diadakan terhadap benda-benda, seperti rumah, perusahaan , mobil, kapal udara,
kapal laut motor, dan lainnya.[18]
Asuransi ini diberikan kepada kedaraan-kendaran termasuk dalam pertanggungan
asuransi dengan menanda tangani premi secara bersama.
Dalam
asuransi ini, seorang nasabah membayar sejumlah uang dalam setahun, bila suatu
yang diasuransikan seperti (barang dagang, perusahaan, kendaraan, dan lainnya)
ditakdirkan selamat, dan pihak perusahaan mengambil semua nilai uang dan tidak dikembalikan sepeserpun kepada
nasabah. Sedangakan apabila nasabah tertinpa musibah maka perusahaan asuransi
mengantikan kerugian sesuia jumlah yang disepakati bersama.
C. Asuransi Menurut Hukum Islam
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa
hukum-hukum muamalah adalah bersifat terbuka, artinya Allah SWT dalam Al-Qur’an
hanya memberikan aturan yang bersifat garis besar saja. Selebihnya adalah
terbuka bagi mujtahid untuk mengembangkannya melalui pemikirannya selama tidak
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist. Al-Qur’an Maupun Hadis tidak
menyebutkan secara nyata apa dan bagaimana berasuransi. Namun bukan berarti
bahwa asuransi hukumnya adalah haram karena ternyata dalam hukum Islam memuat
subtansi perasuransian secara Islami.[19]
Asuransi sebagai satu bentuk kontrak modern
tidak dapat terhindar dari akad yang membentuknya. Hal ini disebabkan karena
dalam praktiknya, asuransi melibatkan dua orang yang terikat oleh perjanjian
untuk saling melaksanakan kewajiban, yaitu antara peserta asuransi dengan
perusahaan asuransi.[20]
Hakikat asuransi secara Islami adalah saling
bertanggung jawab, saling bekerja sama atau bantu membantu dan saling
melindungi penderitaan satu sama lain. Oleh karena itu berasuransi dibolehkan secara syariat, karena prinsip-prinsip dasar
syariat mengajak kepada setiap sesuatu yang berakibat keeratan jalinan sesama
manusia dan kepada sesuatu yang meringankan bencana mereka.[21]
Untuk melindungi harta dan jiwa akibat bencana,
semua membutuhkan keberadaan lembaga asuransi yang dijalankan sesuai prinsip
syariah. Dalam hukum syariah, terdapat berbagai macam akad yang dapat
diaplikasikan ke dalam bentuk perusahaan asuransi seperti halnya lembaga
keuangan lainnya. Adapun landsan syariah yang menjadi dasar hukum berlakunya
lembaga asuransi secara umum adalah
berikut firman Allah yang menjadi dasar hukum asuransi sebagai berikut:
وتعا
ونواعلى البر والتقوى , ولا تعا ونوا على الإ ثم والعدوان , واتقوا الله , ان
الله شديد ا لعقا ب (الما ئدة :٢)
Artinya:
Dan tolong menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah
amat berat siksaannya. (QS. Al-Maidah. 2).[22]
Asuransi
syari’ah juga mengarah kepada berdirinya sebuah masyarakat yang tegak di atas
asas saling membantu dan saling menopang, karena setiap muslim terhadap muslim
yang lainnya sebagaimana sebuah bangunan yang saling menguatkan sebagaian
kepada sebagian yang lain. Dalam model asuransi ini tidak ada perbuatan memakan
harta manusia dengan bathil, karena apa yang telah diberikan adalah semata-mata
sedekah dari harta yang dikumpulkan. Selain itu keberadaan asuransi syariah
akan membawa kemajuan dan kesejahteraan kepada perkonomian umat.[23]
Ciri-ciri asuransi syari’ah Asuransi syariah memiliki beberapa ciri,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Akad asuransi syari’ah adalah bersifat tabarru’, sumbangan yang diberikan tidak
boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang dibayarkan
akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan
diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan
tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah kentungan hasil
mudhorobah bukan riba.
- Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama).
- Dalam asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah seperti dalam asuransi takaful.
- Akad asuransi syari’ah bersih dari gharar dan riba.
- Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.[24]
Prinsip
utama dalam asuransi syariah adalah ta’awanu
‘ala al birr wa al-taqwa (tolong menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan
dan takwa) dan al-ta’min (rasa aman).
Prinsip ini menjadikan para anggota atau peserta asuransi sebuah keluarga besar
yang satu dengan yang lainnya saling menjamin
dan menanggung resiko. Hal ini disebabkan transaksi yang dibuat dalam transaksi dalam takaful adalah akad
takafuli (saling menaggung).[25]
Asuransi termasuk salah satu tolong menolang dalam menghadapi resiko suatu
kecelakaan dan harta.
D. Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Asuransi
Berbagai
pendapat ulama tentang asuransi yang ada yang berpendapat haram ada juga yang
berpendapat dibolehkan. Karena pada masa imam mazhab tidak ada asuransi,
sehingga perlu dilakukan ijtihad untuk mendapat kepastian boleh atau tidaknya
asuaransi menurut hukum Islam.
Masalah
asuransi dalam pandangan ajaran Islam termasuk masalah ijtihadiyah, artinya
hukumnya perlu dikaji sedalam mungkin karena tidak dijelaskan oleh al-qur’an
dan Al-Sunnah secara ekplisit. Para imam mujtahid seperti Abu Hanifah, Imam Malik,
Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan para mujtahid yang semasa dengannya
tidak member fatwa mengenai fatwa mengenai asuransi karena pada masanya
asuransi belum dikenal.[26]
Dikalangan
ulama atau cendikiawan muslim terdapat empat pendapat tentang hukum asuransi,
yaitu:
1.
Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan
bentuknya seperti sekarang ini, termasuk asuransi jiwa. Kelompok ini antara
lain Sayyid Sabiq yang diungkapkan dalam kitabnya Fiqh Al-Sunnah, Abdullah Al-Qailani, Muhammad Yusuf al-Qardhawi, dan
Muhammad Bakhit al-Muth’i.[27]
alasannya antara lain:
a. Asuransi sama dengan judi
b. Asuransi
mengandung unsur-unsur yang tidak pasti
c. Asuransi
mengandung riba/rente
d. Asuransi
mengandung pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bias melanjutkan
preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau dikurangi
e. Premi-premi
yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek riba
f.
Asuaransi termasuk jual beli atau tukar menukar
mata uang tidak tunai
g. Hidup
dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan mendahului
takdir Allah.[28]
Menurut
pendapat di atas Asuransi diharamkan karena mengandung unsur yang tidak pasti,
judi dan rente. Sebagaimana diungkapkan oleh
Mahdi Hasan malarang
praktik asuransi dikarenakan:
a.
Asuransi tidak lain adalah riba berdasarkan kenyataan
bahwa tidak ada kesetaraan antara dua pihak yang terlibat, padahal kesetaraan
demikian wajib adanya.Asuransi juga mengandung unsur perjudian, karena ada
penggantungan kepemilikan pada munculnya resiko.
b.
Asuransi adalah pertolongan dalam dosa, karena perusahaan
asuransi mengadakan transaksi dengan riba.
c.
Dalam asuransi jiwa ada unsur penyuapan, karena
konpensasi didalamnya adalah untuk sesuatu yang tidak dapat di nilai.[29]
Pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa,
asuransi adalah suatu yang diharamkan dalam bentuk apapun kerena mengandung
unsur yang tidak pasti, judi dan rente, sebagaimana dipertegas oleh Mahdi Hasan
sebagaimana dijelaskan diatas.
2.
Membolehkan asuransi dalam prakteknya dewasa
ini.[30]
Asuransi
adalah suatu perjanjian atau pertanggungan keduabelah pihak yang satu berkewajiban
membayar iuran dan yang satu pihak lain memberi jaminan sepenuhnya kepada
pembayar iuran. Dalam praktek dewasa ini asuaransi di bolehkan karena tidak ada
nash dan sunnah yang melarangnya, sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh ulama,
yakni pendapat Abd. Wahab Khallaf, Mustafa Ahmad Zarqa. Muhammad Yusuf Musa,
Abd Rahman Isa, mereka beralasan:
a.
Tidak ada nash (al-Qur’an dan Sunnah) yang
melarang asuransi
b.
Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak
c.
Saling menguntungkan kedua belah pihak
d.
Asuransi termasuk akad mudharabah (bagi hasil).
e.
Asuaransi dapat menggulangi kepentingan umum,
sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan untuk proyek-proyek yang
produktif dan pembangunan.
f.
Asuransi termasuk koperasi (syirkah ta’awunniyah) .
g.
Asuransi dianalogikan (qiyaskan) dengan system
pension, seperti taspen.[31]
Dari
pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa, asuaransi dibolehkan karena tidak
adanya larangan dari kedua sumber hukum Islam yakni Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Asuaransi juga termasuk akad mudharabah
(bagi hasil) dan asuransi digolongan
kepada asuransi (syirkah ta’awunniyah).
3.
Membolehkan asuransi kecelakaan, jika
asuransinya tergolong kepada asuransi campur (asuransi yang didalamnya termasuk
penabungan).[32]
Kebolehan asuransi disini adalah asuransi yang bersifat tabungan yang suatu
saat boleh ditarik kembali tabungan tersebut kepada nasabah Asuaransi.
4.
Menganggap bahwa asuransi bersifat syubhat karena
tidak ada dalil-dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan atau pun secara
jelas menghalalkan. Apabila hukum asuransi dikategorikan syubhat, konsekwensinya adalah umat Islam dituntut untuk
berhati-hati (al-ihtiyath) dalam
menghadapi asuransi. Umat Islam baru dibolehkan menjadi polis atau mendirikan
perusahaan asuransi apabila dalam keadaan darurat. [33]
Pendapat
ini dianut antara lain oleh Muhammad Abu Zahrah (Guru Besar Hukum Islam pada
Universitas Kairo). Alasan kelompok ini sama dengan kelompok pertama dalam
asuransi yang bersifat komersil (haram) dan sama pula dengan alasan kelompok kedua,
dalam asuransi bersifat sosial boleh.[34]
Bisnis asuransi adalah sesuatu yang
baru dalam literature fiqh Islam dan
masuk dalam katagori masalah kontemporer yang baru terangkat ke permukaan pada
paruh akhir abad 18, yaitu tepatnya setelah Ibnu Abidin (1784-1836), seorang
ahli hukum Islam (lawyer) yang
menganut mazhab Hanafi, mengomentari tentang praktik asuransi dalam sebuah
kitabnya Rad al-Mukhtar.[35]
Dengan
merujuk pada dasar hukum tersebut Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengeluarkan fatwa, untuk mengembangkan
produk hukum asuransi syariah (takaful), keberadaan fatwa DSN-MUI mempunyai
fungsi yang sangat fundamental, hingga sekarang ini, fatwa-fatwa yang telah
dikeluarkan DSN-MUI yang terkait dengan upaya pengembangan asuransi Syariah (takaful).[36]
[1]
Burhanuddin, Aspek Hukum Lembaga Keuangan
Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hal. 97.
[2]Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, Bab 1 Ketentuan Umum pasal 1 Ayat 1.
[3]
Masyfuk Zuhdi, Islam dan Keluarga di
Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), hal. 162.
[4]
Suhrawati K.Lubis, Hukum Ekonomi Islam,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 72.
[5]
M. Hasan Ali, Masail Fiqhiyah,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 95.
[6]
http://www.asuransi-mobil.com/definisi-dan-manfaat-asuransi-mobil.htm,
di akses Pada Tanggal 26 Agustus 2013.
[7]
http://bandung-andir.blogspot.com/2011/11/manfaat-asuransi-kendaraan.html,
dikases pada tanggal 26 Agustus 2013.
[8]
Hamzah Ya’kob, Kode Etik Dagang Menurut Hukum Islam, Jilid. II, (Bandung
: CV. Dipenogoro, 1984), hal. 293.
[9]
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. IV, ( Jakarta:
PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve,1991), hal. 38
[10]
Azhar Abdullah dan Yunianti Ananda, kelembagaan Perbankan, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1991), hal. 78
[11]
Porwosutjipto, S.H, Pengertian Pokok
Hukum Dagang Indonesia, Buku 6, Hukum Pertanggungan, Cet. ke 11, (Jakarta : PT. Djambatan, 1983),
hal. 25
[12]
Burhanuddin, Hukum Bisnis Syari’ah,
(Yogyakarta: UII Press, 2011), hal. 138.
[13]
Fuad Muhammad Fachruddin, Riba Dalam Bank, Koperasi, Perseroan dan Asuransi,
(Bandung; PT. Al-Ma’rif, 1985), hal. 205
[14]
Burhanuddin, Hukum Bisnis Syari’ah,…,
hal. 139.
[15]
Ibid, hal. 139.
[17]
Kasmir, Bank dan Lembaga keuangan Lainya, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1998), .hal. 245
[18] Ibid,
hal. 308.
[19]
Gemala Dewi, Apek-Aspek Hukum Dalam
Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006),
hal. 141.
[20]
M.Ali Hasan, Asuransi Dalam
Perspektif Hukum Islam,(Jakarta:
Kencana, 2004), hal. 136.
[21]
Gemala Dewi, Apek-Aspek Hukum…hal.
141.
[22]
Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif …
hal. 97.
[23]
Gemala Dewi, Apek-Aspek Hukum Dalam
Perbankan …hal. 141-142.
[24]
http://jacksite.wordpress.com/2007/07/11/hukum-asuransi-menurut-islam/.
Diakses Pada Tanggal , 5 Januari 2014.
[25]
Gemala Dewi, Apek-Aspek Hukum Dalam
Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006),
hal. 146.
[27] Ibid,
hal. 311.-312.
[28] Hasan Ali, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 2003), hal. 100.
[29]
Hasan Ali, Asuransi dalam
Prespektif Hukum Islam, (Jakarta, Kencana Prenada Media, 2004), hlm. 143.
[30] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah…hal. 311.-312.
[32]
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah… hal. 312.
[33] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah…hal. 311.-312.
[34]
Hasan Ali, Masail Fiqhiyah…hal. 100.
[35] Ali Hasan, Asuransi
Dalam Perspektif… hal. 141.
[36]
Burhanuddin, Aspel Hukum Lembaga …
hal. 103.